Pakar Hukum Beberkan Rapor Merah Legislasi UU Cipta Kerja, "Paling Buruk" Selama Pascareformasi

| 17 Oct 2020 16:30
Pakar Hukum Beberkan Rapor Merah Legislasi UU Cipta Kerja,
Pengesahan UU Cipta Kerja mengundang protes banyak pihak. Sebagian masyarakat melakukan demonstrasi menolak UU omnibus law tersebut di Jakarta, Kamis (8/10/2020). (Foto: Angga Nugraha/era.id)

ERA.id - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut proses legislasi Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) merupakan yang terburuk di era pascareformasi. Sebab, proses ini bertentangan dengan prosedur dan prinsip ketatanegaraan.

Buruknya proses legislasi UU Cipta Kerja dibuktikan dari naskah draf yang berybah-ubah dan pembahasan yang terkesan terburu-buru.

"Kalau pertanyaannya apakah mengubah naskah, tidak ada informasi, dan sebagainya itu melanggar hukum tata negara secara prosedural, iya. Melanggar prinsip, iya juga. Jadi ini praktik yang sangat buruk dalam catatan kami, bahkan ini yang terburuk dalam proses legislasi selama ini. Terutama pasca reformasi," kata Bivitri dalam sebuah acara diskusi, Sabtu (17/10/2020).

Menurut Bivitri, dari segi pembahasan, UU Cipta Kerja dinilai melanggar aturan yang ada dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 dan tata tertib DPR RI. Karena, persetujuan di tingkat I atau di tingkat Baleg DPR RI terjadi pada tengah malam.

Selain itu, tak adanya naskah final dan resmi juga menjadi cacat dalam proses legislasi UU Cipta Kerja. Sebabnya, dalam UU 12/2011 mengatur sebelum disahkan di tingkat I, rancangan undang-undang yang akan diparipurnakan harus memiliki draf final. Ditambah dengan dipercepatnya rapat paripurna yang seharusnya digelar tanggal 8 Oktober, namukan dimajukan ke tanggal 5 Oktober juga dinilai terlalu terburu-buru

"Biasany di tingkat I sudah ada naskah lengkapnya. Nah ini kita tahu terlalu terburu-buru. Ini jelas menyalahi prosedur," katanya.

Kemudian terkait jumlah halaman naskah UU Cipta Kerja yang berubah-ubah dari mulai 905 halaman, 1052 halaman, 1035 halaman, dan terakhir 812 halaman yang juga diserahkan ke Presiden Joko Widodo turut menjadi sorotannya. Bivitri menyebut klaim DPR RI terkait perubahan halaman terjadi karena adanya perubahan format dan ukuran kertas merupakan hal yang invalid.

Bivitri mengaku sudah mengecek masalah beda format ukuran kertas tersebut. Hasilnya, kata dia, tetap banyak perbedaan yang tak masuk akal, ditambah substansi di naskah UU Cipta kerja juga berubah dari yang di paripurnaka sampai naskah yang ada saat ini.

"ini jelas melanggar prosedur. Jadi tolonglah, jangan hanya bicara teks peraturan perundang-undangan tapi secara prinsip melanggar moralitas demokrasi," kata Bivitri.

"Demokrasinya dalam sbuah negara demokrasi, itu semua persetujuan bersama wujud dari pasal 20 UUD 1945 ayat 2 bahwa setiap undang-undang itu persetujuan bersama antara presiden yang diwakili menterinya dengan anggota DPR. Nah, jadi ada makna besar dalam demokrasi kita," pungkasnya.

Rekomendasi