ERA.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) membuat catatan satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Laporan dan catatan itu diberi judul 'Resesi Demokrasi'.
"Judul ini kami maksudkan sebagai pengingat kepada masyarakat beserta Pemerintah, bahwa selain resesi ekonomi yang sudah ada di depan mata, Indonesia juga sedang berada dalam ancaman resesi demokrasi, yang prosesnya sudah berlangsung sejak lama dan akan membahayakan kondisi demokrasi di Indonesia dan berpotensi menyuburkan pelanggaran HAM," seperti dikutip dari laman KonatraS, Selasa (20/10/2020).
KontraS mencatat ada lima poin yang menyebabkan Indonesia dalam kondisi resesi demokrasi. Pertama, penyusutan ruang sipil, kedua budaya kekerasan, pengabaian agenda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, pelibatan aparat keamanan dan pertahanan pada urusan-urusan sipil, dan minimnya partisipasi publik dalam implementasi proses demokrasi yang substansial, yakni proses legislasi.
Dari sisi penyusutan ruang sipil selama satu tahun kepemimpinan Jokowi-Ma-ruf Amin, KontraS mencatat terdapat 158 peristiwa pelanggaran, pembatasan, ataupun serangan terhadap kebabasan sipil yang terdiri atas hak asosiasi sebanyak 4 peristiwa, hak berkumpul sebanyak 93 peristiwa, dan hak berekspresi sebanyak 61 peristiwa. KontraS mengatakan, penyerangan terhadap kebebasan sipil utamanya dilakukan oleh aparat kepolisian.
"Pandemi COVID-19 juga dijadikan alasan untuk memberangus ruang sipil, diantaranya melalui pembubaran aksi, dalam banyak peristiwa secara represif, yang menunjukan bahwa negara telah gagal dalam menyediakan akses yang efektif bagi masyarakat untuk mengkomunikasikan aspirasinya melalui jalur-jalur lain agar dapat mempengaruhi kebijakan negara, selain melakukan aksi massa," tulis KontraS.
Dari segi perlindungan terhadap pembela HAM, KontraS mencatat dalam satu tahun terakhir menemukan pola yang terus berulang, yakni berlarutnya proses hukum terhadap pelaku penyerangan terhadap pembela HAM. Contohnya dalam penanganan kasus Novel Baswedan, Golfrid Siregar, dan Ravio Patra.
Sementara dari sisi aspek penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, KontraS menyebut tahun ini nyaris tidak ada kemajuan, dan dalam beberapa hal justru terjadi kemunduran.
Hal ini terlihat dari dikembalikannya berkas penyelidikan peristiwa Paniai oleh Jaksa Agung kepada Komnas HAM, dinyatakannya deklarasi damai peristiwa Talangsari sebagai maladministrasi oleh Ombudsman, pernyataan Jaksa Agung bahwa tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat, serta diangkatnya aktor-aktor pelanggaran HAM berat sebagai pejabat pemerintahan.
"Keseluruhan peristiwa ini menegaskan bahwa isu pelanggaran HAM berat bagi Joko Widodo hanya merupakan komoditas politik tanpa ada niatan untuk benar-benar menyelesaikannya."
Terakhir, tidak diinternalisasinya nilai-nilai demokrasi dalam tata kelola pemerintahan terlihat jelas dalam proses legislasi yang alih-alih menjadi wadah penampung aspirasi publik, justru dijadikan metode untuk memuluskan ambisi investasi pemerintah.
KontraS lantas mencontohkan, sejumlah undang-undang kontroversial seperti UU Minerba dan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan di tengah pandemi COVID-19.
"Atas dasar tersebut, kami menyimpulkan bahwa Indonesia tidak hanya sedang berada dalam ancaman resesi ekonomi, melainkan juga resesi demokrasi. Apabila terus berlanjut, kami mengkhawatirkan adanya pergeseran menuju tata kelola pemerintahan yang otoriter, yang merupakan ancaman terhadap HAM."