ERA.id - Operasi Tinombala yang digelar pemerintah sejak tahun 2015 untuk memberangus kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) masih terus dilanjutkan. Sebab, mereka masih harus memburu Ali Kalora yang disebut melanjutkan pergerakan pimpinan MIT terdahulu, Santoso, yang tewas dalam Operasi Tinombala.
Lima tahun berlalu, apakah Operasi Tinombala sudah bisa dikatakan sukses? Terlebih baru-baru ini MIT pimpinan Ali Kalora kembali menebar teror di Sulasewi Tengah dengan membantai satu keluarga dan membakar sejumlah rumah di Desa Lemban Tongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat (27/11) lalu.
Pengamat terorisme Harits Abu Ulya menyebut Operasi Tinombala tidak bisa dikatakan sukses. Menurutnya, predikat sukses bisa diberikan apabila dalam operasi tersebut berhasil menangkap seluruh kelompok MIT.
"Sukses kalau target operasi bisa ditangkap hidup atau mati, diseret ke pengadilan," ujar Harits saat dihubungi, Kamis (3/12/2020).
Sayangnya, kata Harits hal tersebut tidak terjadi. Akibatnya, masyarakat masih terus merasa terancam dengan adanya aksi teror dari kelompok MIT pimpinan Ali Kalora meskipun hanya beranggotakan sepuluh orang. Dia menjelaskan, teror yang dilakukan MIT tidak lain karena dipicu oleh kebutuhan bertahan hidup mereka.
Misalnya, ketika kebutuhan logistik mereka terhambat atau menganggap ada pihak yang berpotensi mengancam keselamatan kelompok MIT, maka mereka tidak ragu untuk melakukan tidakan kekerasan bahkan sampai pembunuhan.
"Ini maksudnya untuk memberikan pesan kepada siapa pun orang sipil yang mencoba menjadi informan atau membantu aparat, maka akan menghadapi resiko buruk dari mereka (kelompok MIT)," papar Harits.
Dia menambahkan, berlarutnya Operasi Tinombala tanpa sadar menjadi kritik publik terhadap kredibilitas dan kapasitas semua elemen aparat yang terlibat operasi. Apalagi operasi tersebut menggunakan anggaran APBN, maka harus transparan dan akuntabel.
"Karena pertanyaan besarnya untuk mengejar dan menangkap 10-an orang hidup atau mati butuh berapa tahun lagi?" katanya.
Menurut Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) ini, Operasi Tinombala yang sudah berjalan bertahun-tahun perlu evaluasi total, termasuk kajian atas strategi yang diterapkan dalam operasi di lapangan.
Harits mengatakan, di lapangan terdapat unsur Polri, TNI, BNPT, hingga BIN yang semuanya dibekali dengan pendidikan serta didukung logistik baik senjata maupun makanan yang melimpah. Namun seolah seperti dipecundangi oleh sekelompok orang yang tak pernah belajar intelejen dan pertempuran dengan pasokan logistik yang sangat minim.
Untuk memperbaiki hal itu, Harits mengusulkan dua langkah pendekatan yang bisa dilakukan TNI dan Polri dalam upaya menangkap kelompok MIT. Pertama melakukan pendekatan hard power dengan cara mengirim pasukan yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
"Jangan setengah hati, bisa pasukan khusus anti teror yang terlatih perang gerilya di hutan dan gunung diterjunkan," kata Harits.
Dia berharap, pasukan khusus yang dikirim oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto untuk membantu memperkuat Satugan Tugas Operasi Tinombala benar-benar efektif, efisien, dan cepat menuntaskan masalah yang ada.
"Kita berharap pasukan dari kesatuan Koopsus yang baru dibentuk, sekalian untuk menguji kinerja dan kapasitas pasukan. Apalagi ada momentum mereka di butuhkan di lapangan," katanya.
Lalu langkah kedua adalah pendekatan soft, dengan menarik semua pasukan di lapangan agar terkesan Operasi Tinombala dihentikan. Sementara Polri difokuskan pada kegiatan yustisi dan keamanan masyarakat. Namun tetap menggelar opersi intelejen yang bersifat tertutup.
"Biarkan target yang di gunung terpancing turun, atau longgar kewaspadaan mereka. Itu akan membuat operasi lebih mudah mengendus mereka," katanya.