Daftar Kelam Kekerasan yang Terulang pada 2020

| 31 Dec 2020 22:33
Daftar Kelam Kekerasan yang Terulang pada 2020
Komnas HAM (Dok. Antara)

ERA.id - Rupanya waktu 366 hari tidak cukup untuk mengubah situasi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Komnas HAM dalam catatan akhir tahun 2020 memandang situasi HAM pada 2020 masih sama seperti tahun sebelumnya, yakni praktik kekerasan masih marak, baik dalam kehidupan politik, pembangunan, maupun yang paling genting pemenuhan kesehatan.

Sejumlah kekerasan bahkan terulang, seperti tidak ada yang mau belajar dan berusaha untuk berubah, di antaranya dalam sejumlah peristiwa berikut.

1. Kekerasan dalam demo Omnibus Law

Jika 2019 gelombang aksi turun ke jalan terjadi karena hasil pemilu dan rencana pengesahan RKUHP serta revisi UU KPK, maka pada 2020 gelombang yang sama terjadi karena pengesahan UU Cipta Kerja. Komnas HAM menyebut dalam dua gerakan penolakan itu, praktik kekerasan baik dari aparat penegak hukum maupun dari pengunjuk rasa terjadi.

Tercatat dalam peristiwa penolakan UU Cipta Kerja oleh berbagai elemen masyarakat pada Oktober 2020 itu, kekerasan berlebihan dan penangkapan terjadi pada 5.198 orang di wilayah DKI Jakarta. Kekerasan dan penangkapan diduga tidak hanya terjadi di Ibu Kota, melainkan juga berbagai daerah di Indonesia.

Tidak hanya aparat, kekerasan juga dilakukan oleh masyarakat, baik ditujukan kepada aparat maupun dengan merusak fasilitas umum, seperti halte busway di DKI Jakarta dan pos polisi.

Sebagai lembaga yang rutin menduduki posisi teratas paling banyak diadukan diduga melanggar HAM, Polri diminta agar mematuhi norma dan prinsip HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Begitu pun masyarakat yang menolak suatu kebijakan diminta untuk mengutamakan pendekatan dialog.

2. Kekerasan dalam konflik agraria

Meski pembangunan infrastruktur didedikasikan sebagai prasarana pemenuhan HAM, nyata-nya pembangunan infrastruktur adalah salah satu penyebab terjadinya konflik agraria, selain kebijakan penetapan kawasan hutan dan penerbitan izin sejak 1970-an.

Komnas HAM menilai penyelesaian konflik agraria di Indonesia belum menghormati prinsip HAM, melainkan masih mengedepankan pendekatan represif.

Untuk 2020, kehadiran konflik agraria akibat pembangunan infrasruktur proyek strategis nasional (PSN) di antaranya adalah pembangunan Pelabuhan Baru Makassar, pembangunan Sirkuit MotoGP di Mandalika, Lombok, NTB, dan pengembangan kawasan wisata Danau Toba Sumatera Utara.

Konflik agraria yang berimplikasi pada pelanggaran HAM diprediksi akan meningkat eskalasi-nya dengan adanya UU Cipta Kerja karena investor diberi kemudahan dalam memperoleh dan mengakumulasi tanah.

Selain itu, terdapat regulasi yang melemahkan perlindungan atas HAM dan mekanisme penyelesaian konflik-konflik agraria yang menyeluruh hingga akar masalah belum dibentuk.

3. Kekerasan di tanah Papua

Sepanjang 2020, Komnas HAM menilai situasi kemanusiaan di Papua cukup mengkhawatirkan karena kekerasan masih berlanjut dilakukan oleh aparat TNI/Polri maupun oleh OPM sehingga suasana damai belum terjadi di tanah Papua.

Kekerasan dengan pola sama dan terbentuk dari serangkaian peristiwa, misalnya, adalah pembunuhan pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September 2020 di Intan Jaya, Papua.

Pembunuhan itu tidak berdiri sendiri, melainkan dampak dari aksi dan reaksi antara aparat dan kelompok bersenjata. Hingga kini tersangka kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap pendeta Yeremia Zanambani belum ditetapkan.

Sementara untuk kasus sebelumnya, sebanyak delapan orang anggota TNI ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pembakaran rumah Dinas Kesehatan di Hitadipa dan sembilan orang anggota TNI ditetapkan sebagai tersanga kasus dugaan hilangnya dua orang bernama Luther Zanambani dan Apinus Zanambani yang ditahan di Koramil Sugapa pada 21 April 2020. Kemudian tiga anggota lainnya masih dalam pendalaman.

Komnas HAM mendorong ada para tersangka diadili dalam peradilan koneksitas untuk membuka sampai ke aktor yang paling bertanggung jawab.

4. Pelanggaran HAM berat masa lalu

Kekerasan dan pembunuhan dalam kasus pelanggaran HAM berat memang telah terjadi bertahun-tahun lalu. Hal yang terulang dalam perkara-perkara itu selama 2020 adalah stagnasi-nya. Penyelidikan atas kasus-kasus itu hingga kini belum beranjak ke tahap penyidikan karena sejumlah alasan.

Kasus pelanggaran HAM berat yang penyelidikannya telah diselesaikan Komnas HAM adalah Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998 di DKI Jakarta, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang terjadi di berbagai provinsi, Peristiwa Wasior 2001-2001 dan Wamena 2003 di Papua-Papua Barat dan Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa1997-1998 di berbagai provinsi.

Selanjutnya Peristiwa Talangsari 1989 di Lampung, Peristiwa 1965-1966 di berbagai daerah, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Simpang KKA dan Peristiwa Jambu Keupok di Aceh, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998 di Jawa Barat dan Jawa Timur, Peristiwa Rumoh Geudong 1989 di Aceh serta Peristiwa Paniai 2014 di Papua.

Selain peristiwa-peristiwa tersebut, beberapa hal yang diharapkan agar tidak terulang pada 2021 adalah gerusan terhadap kebebasan berekspresi dan strategi penanganan pandemik COVID-18 yang tidak jelas.

Dalam survei yang dilakukan Komnas HAM pada Juli hingga Agustus 2020 terhadap 1.200 responden di 34 provinsi, sebanyak 29 persen responden takut mengkritik pemerintah. Sebanyak 36,2 persen responden takut menyampaikan pendapat melalui internet/media sosial.

Komnas HAM menilai hasil survei itu mencerminkan pemerintah harus memberikan penghormatan dan perlindungan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi di dalam lingkup pendidikan dan akademik, melakukan revisi terhadap UU ITE serta menyegerakan pembahasan RUU perlindungan data pribadi.

Untuk penanganan pandemik COVID-19, bahkan hingga sembilan bulan berlalu dinilai masih tidak efektif. Kebijakan pun masih sangat sektoral, birokratis, dan parsial sehingga penyebaran pandemik COVID-19 sulit terkontrol.

Komnas HAM menegaskan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah termasuk HAM, seperti ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (3) UU HAM. Oleh karena itu, negara wajib segera mengambil kebijakan yang tepat agar wabah COVID-19 berakhir, baik secara medis melalui penyediaan vaksin dan obat-obatan serta tenaga medis/kesehatan, maupun menjaga keseimbangan ekosistem sebagai prasyarat mendasar terpenuhi dan terlindunginya hak atas kesehatan.

Rekomendasi