Setahun Pandemi COVID-19, Vaksin Bukan Senjata Pamungkas

| 02 Mar 2021 11:27
Setahun Pandemi COVID-19, Vaksin Bukan Senjata Pamungkas
Mantan Menkes Terawan Agus Putranto (Diah Ayu/era.id)

ERA.id - Satu tahun pandemi COVID-19 melanda Indonesia, banyak hal yang telah dilakukan oleh pemerintah dan juga masyarakat untuk menangani wabah virus Corona baru tersebut. 

"Kalau bicara apa yang sudah terjadi selama setahun, kita mau tak mau harus melihat aspek strategi dalam pandemi itu sendiri yaitu 3T (testing, tracing, treatment atau isolasi), 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas), vaksinasi, dan strategi pembatasan (PSBB dan PPKM Mikro)," ujar Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman saat dihubungi, Selasa (2/3/2021).

Langkah-langkah tersebut, kata Dicky, ada yang berprogres namun ada pula yang jalan ditempat, bahkan menurun.

Misalnya, jika berbicara progres, pemerintah makin giat membuat regulasi-regulasi yang memperkuat aspek kesehatan mupun ekonomi. Perhatian pemerintah kepada tenaga kesehatan dan petugas medis pun terus mengalami perbaikan.

Selain itu, kehadiran vaksin COVID-19 jug dinilai sebagai langkah maju. Meski demkian, Dicky tetap mengingatkan bahwa vaksin bukan senjata pamungkas untuk mengakhiri pandemi.

"Termasuk salah satu yang menggembirakan adalah program vaksinasi. Tapi harus dingat bahwa program vaksinasi ini tidak bisa berdiri sendiri dan tidak menjamin kita keluar dari situasi panedemi dengan cepat. Jadi ini yang harus kita perbaiki pola pikirnya," kata Dicky.

Lebih lanjut, Dicky juga mencatat masih ada pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh pemerintah. Salah satunya mengenai program 3T. Menurutnya, program 3T yang sudah dicanangkan sejak munculnya kasus pertama di Indonesi hingg kini tak menunjukan kemajuan yang signifikan.

Pun dengan adanya penambahan laboratorium maupun penggunaan rapid test antigen untuk mempercepat testing juga tidak menunjukan dampak yang signifikan.

"Belakangan ada keputusan untuk menggunakan rapid test antigen, tapi itu juga belum terlalu terlihat dampaknya, selain juga jumlah tracing yang belum terlihat dampaknya. Ini yang tentunya harus diperbaiki," katanya.

Positivity rate (perbandingan antara jumlah kasus positif COVID-19 dengan jumlah tes yang dilakukan) di Indonesia sejak awal pandemi selalu di atas 10 persen, kata Dicky juga menjadi pekerjaan rumah yang menumpuk.

"Itu mewakili kondisi bahwa baik testing tracing itu tidak memadai. Ditambah dengan adanya dengan angka kematian yang tinggi ini, ini menunjukan bahwa kita gagal mendekteksi kasus-kasus postif di masyarakat," kata Dicky.

Lebih lanjut, Dicky juga menyoroti soal perubahan prilaku masyarakat, khususnya dalam penerapan 5M. Menurutnya, sudah banyak masyarakat yang memiliki kesadaran menggunakan masker. Namun secara umum masyarakat masih belum menerapkan pemakaian masker dengan baik dan benar. 

Masyarakat juga dinilai kurang melakukan jaga jarak. Hal itu, kata Dicky terlihat dari tingginy mobilitas masyarakat selama satu tahun pandemi COVID-19 berlangsung, khususnya saat adanya fase liburan panjang. Padahal mobilitas inilah yang kerap menjadi pemicu terjadinya lonjakan kasus positif di Tanah Air.

Terakhir, usai liburan Natal dan Tahun Baru, Indonesi memecahkan rekor dengan 1 jut kasus positif dan tambahan kasus harian mencapai 13 ribu orang.

"Setelah berkali-kali (terjadi lonjakan kasus) baru mulai ada perubahan tahun ini. Nah ini kita lihat regulasinyam, karena terbukti dri mobilisasi ini berkontribusi perburukan, kan sempat ada demo, libur panjang, dan Pilkada juga. Ke depan ini harus diperbaki," ucapnya.

"Intinya pandemi ini adalah PR bersama pemerintah dan masyarakat," tegas Dicky.

Rekomendasi