ERA.id - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengatur soal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Isu ini sempat ramai ditolak masyarakat.
Adapun penghinaan terhadap presiden tercantum dalam Pasal 218 RKUHP tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.
Lantaran pernah menimbulkan polemik, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy menegaskan kembali bahwa pasal tersebut bersifat delik aduan. Pemerintah menambah penjelasan terkait delik aduan setelah sosialisasi RKUHP.
"Terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Kami memberikan penjelasan bahwa ini adalah perubahan dari delik yang bersifat, tadinya delik biasa menjadi delik aduan," kata Eddy dalam rapat dengat pendapat dengan Komisi III DPR RI, Rabu (25/5/2022).
Eddy juga menjelaskan bahwa pasal ini sama sekali tidak menghidupkan kembali pasal yang telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Jadi sama sekali kami tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi, justru berbeda," kata Eddy.
"Kalau yang dimatikan Mahkamah Konstitusi itu delik biasa, sementara yang ada dalam RKUHP ini adalah delik aduan," paparnya.
Pemerintah, kata Eddy juga menambahkan penjelasan bahwa pengaduan dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden. Selain itu ada juga pengecualian untuk tidak dilakukan penuntutan.
"Jami menambahkan itu bahwa pengaduan dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden, dan juga ada pengecualian untuk tidak dilakukan penuntutan apabila ini untuk kepentingan umum," kata Eddy.
"Ini memang bebebedda dengan yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi," imbuhnya.
Dalam pembahasan RKUHP pada tahun 2021 lalu , pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tertuang dalam Pasal 218 hingga 220 RKUHP terbaru. Penghinaan terhadap presiden dan wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara.
Bila penghinaan dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya menjadi 4,5 tahun penjara. Sementara itu, bagi yang menghina lembaga negara, seperti DPR, bisa dihukum penjara maksimal 2 tahun penjara.