Idol Group dan Musik yang Sekadar untuk Jualan

| 22 Jul 2020 20:25
Idol Group dan Musik yang Sekadar untuk Jualan
Ilustrasi (Raga/era.id)

Dari demam film Prancis tahun 1964 hingga moncernya bisnis idol group di Akihabara, industri budaya Jepang berhasil mengubah kultur 'kawai' menjadi mesin produksi hiburan yang cuan tujuh turunan.  

Film Prancis Cherchez l'idole yang dirilis pada November 1964 ternyata menimbulkan sensasi di Jepang. Publik setempat tiba-tiba gandrung dengan lagu "La plus belle pour aller danser" yang dinyanyikan oleh aktris Sylvie Vartan dalam film tersebut.

Lebih-lebih sang aktris, yang berparas ayu, bening, dan memiliki talenta musik, kemudian menjadi cikal bakal konsep 'idola' di negara Matahari Terbit. Pada era-era berikutnya, seorang "idoru" atau idola di Jepang adalah para penyanyi yang berpenampilan sama greget dengan Sylvie Vartan.

Televisi di era 1970-an pun makin melebarkan jangkauan kultur idola ke setiap ruang keluarga di Jepang. Program audisi menjamur untuk merekrut idola-idola baru. Penulis lagu kebanjiran job seiring industri idol yang berkembang pesat. Dan di era 1970an yang genting oleh kontestasi politik dunia, para idola menawarkan pelarian, "eskapisme", dari gonjang-ganjing politik dan riuhnya demonstrasi.

Saat ini para idola --dan tidak hanya para idola perempuan saja, tapi juga idola laki-laki seperti Takuya Kimura yang konon pernah nongol di TV Jepang selama 23,5 jam sehari-- adalah bagian penting dari industri iklan dan media di negara Asia Timur tersebut.

Infografik (Ilham/era.id)Caption

Mereka konon membintangi 50-70 persen iklan yang dibuat di Jepang. Namun, alih-alih direkrut berkat talenta, para musisi idola direkrut semata-mata karena citra dan nilai yang mereka representasikan.

"Para idola tak perlu mahir bernyanyi, karena mereka cuma perlu merepresentasikan harapan dan mimpi orang-orang yang tak akan pernah menjadi idola seperti mereka," kata Phillip Brasor di koran Japan Times.

(Grup) Musik Sekadar Komoditas

Bagi agensi seperti Dentsu dan Johnny and Associates yang banyak menggarap iklan TV, citra para selebriti idola adalah aset. Itulah kenapa bahkan sejak era 1970-an, kehidupan pribadi para idola berusaha ditutup-tutupi dari perhatian publik. Hubungan pacaran adalah hal tabu bagi para idol, kecuali para promotor melihat potensi sensasi public relation dari hubungan tersebut.

Bagi kritikus sosial Theodor Adorno, penyederhanaan figur selebritis menjadi sebatas citra yang bisa diperjual-belikan adalah hal lumrah dalam industri budaya. Lebih-lebih ia beranggapan bahwa budaya pop mirip "pabrik" yang memproduksi barang-barang massal. Misalnya, film Hollywood dengan plot yang ajeg; musik pop dengan alur bait, bridge, dan chorus; juga majalah dengan rubrik-rubriknya yang itu-itu juga.

Di skena kultur idol group bahkan ini makin kentara. Lagu-lagu yang diusung JKT48, misalnya, sama persis dengan garapan asli penulis lagu Yasushi Akimoto, hanya liriknya saja yang diganti. Musik tidak lagi diciptakan sebagai bentuk ekspresi, apalagi seni yang bersifat pribadi. Namun, semuanya mengikuti formula paten yang sudah terbukti mampu menghasilkan cuan.

Bila ditarik benang merahnya, jalinan kultur idol group dengan industri budaya akhirnya hanya bertujuan menciptakan produk-produk yang bisa dijual, dan menghilangkan esensi interaksi manusia dalam berkesenian.

Para oshi di idol group dipermak dan diseragamkan sehingga bisa cocok dengan formula marketing. Para fans membeli CD album hingga puluhan keping bukan untuk mendengarkan musiknya keping per keping, tetapi demi bisa berjabat tangan dengan para oshimen.

Pada akhirnya, Adorno si kritikus, mewanti-wanti bahaya terbesar dari industri budaya, yaitu ketika konsumen memiliki kebutuhan psikis yang seakan-akan hanya bisa dipuaskan dengan mengonsumsi produk budaya tertentu.

Misal, wota JKT48 dengan seluruh keping-keping CD yang ia beli. Namun, tak pernah ia putar. Alih-alih menemukan kebebasan, kreativitas, dan kebahagiaan yang sejati, seorang konsumen malah bisa terjerumus pada sikap pasif dan terikat pada apa yang ditawarkan oleh industri.

Setengah abad yang lalu, saat Sylvie Vartan menjadi sosok ‘idola’ publik Jepang, ia masih bisa menjadi dirinya sendiri, dan tidak akan ada yang menggunduli rambutnya ketika ia berpacaran dengan seorang pria.

Mungkin tidak ada yang menyangka saat itu bahwa sosok idola suatu saat menjadi sebatas produk dan citra, yang dimampatkan pada aturan-aturan yang menghamba cuan.

Rekomendasi