ERA.id - 28 Oktober 1998. Soeharto sudah mundur selama lima bulan penuh ketika tepat di Hari Pemuda 1998, puluhan ribu massa mahasiswa menggeruduk kompleks DPR/MPR di Senayan, Jakarta.
Kabarnya, aksi tersebut dinamai sebagai "latihan menggoyang" oleh para mahasiswa, karena dua pekan berikutnya akan diadakan Sidang Istimewa MPR yang tak mereka restui karena masih menyimpan noda Orde Baru..
Saat itu massa mahasiswa tumpah ruah. Meski tak sampai merangsek masuk ke kompleks Senayan yang telah diberi pengamanan berlapis-lapis, gerakan tersebut sempat membuat macet lalu lintas di jalan protokol hingga ruas jalan tol Cawang.
Aksi ini tidak disukai sejumlah pihak. Contohnya, Chalil Badawi, mantan wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung, sempat berpendapat bahwa para mahasiswa melakukan segala cara untuk membatalkan Sidang Istimewa yang akan diadakan pada 11-13 November 1998 tersebut. Badawi, yang juga tokoh penting Dewan Dakwah, berujar bahwa "umat Islam perlu menentukan sikap" karena aktivitas jalanan oleh para mahasiswa itu menurutnya telah menimbulkan kecemasan masyarakat umum.
Dalih Dua Pam Swakarsa
Dalam waktu sepekan, eskalasi keamanan dan keriuhan di Ibukota Jakarta meningkat dengan cepat. Terjadi sejumlah pertemuan "silaturahmi" - baik yang skala kecil, lokal, hingga nasional - oleh organisasi masyarakat berhaluan Islam. Contohnya, acara Apel Akbar Umat Islam 1998 oleh Forum Silaturahmi Ulama-Habib dan Tokoh Masyarakat se-Jabotabek di Stadion Utama Senayan. Ada pula Kongres Umat Islam Indonesia, yang dihadiri 1.500 peserta dari 30-an ormas Islam se-Nusantara. Mereka membentangkan spanduk dan menyatakan deklarasi yang intinya mendukung berjalannya Sidang Istimewa MPR '98.
Orang-orang yang simpatik pada agenda tersebut pun berdatangan dari daerah, dan kumpulan massa inilah kemudian menjadi awal munculnya istilah Pam Swakarsa, yaitu pasukan pengamanan swakarsa. Jumlah mereka puluhan ribu. Forum Umat Islam Penegak Keadilan dan Konstitusi (Furkon), salah satu elemen Pam Swakarsa, mengaku mengerahkan 31.000 massa pendukung dan membaginya ke dua tempat: 26.000 orang diposisikan di Parkir Timur Senayan, dan 5.000 orang di sekitar Masjid Istiqlal.
Alih-alih pengamanan oleh kelompok berseragam, Pam Swakarsa diisi oleh orang-orang sipil. Seperti dicatat majalah Tempo tanggal 7 November 1998, aktivis pro-SI itu diangkut dengan truk yang mangkal untuk salah lohor di Masjid Istiqlal. Di kanan-kiri badan truk diselempangkan spanduk bertuliskan huruf merah "Pam Swakarsa SI MPR '98".
"Di tiap-tiap truk, berjubel anak berusia tanggung. Mereka mengenakan ikat kepala berwarna hijau bertuliskan huruf Arab. Tangan mereka menggenggam erat tongkat bambu. Sekali dalam sehari berkeliling kota. Bukan untuk takbiran, tapi mengampanyekan perlunya SI," tulis Tempo, (9/11/1998).
Sejumlah media nasional melihat bahwa pernyataan sikap dan spanduk-spanduk kelompok Pam Swakarsa tersebut menyiratkan dukungan pada SI MPR '98, dan, tak dipungkiri lagi, terdapat nuansa agonistik dengan kelompok mahasiswa.
"Kalau mereka (mahasiswa) nekat turun ke jalan dan memaksa, ya kami 'beli'," kata Baco Amin dari Pemuda Masjid Al-Muttaqin, Jakarta Utara, yang menjadi bagian kelompok Pam Swakarsa itu. Maksud Baco, gerombolannya sudah siap beradu fisik.
Pada tanggal 11 November 1998, Pam Swakarsa memang sudah bergerak untuk 'mengamankan' Sidang Istimewa MPR. Setidaknya, mereka berhasil memecah mahasiswa dengan membuat bentrokan masyarakat sipil di Tugu Proklamasi.
Kala itu, di Jalan Diponegoro, mahasiswa berorasi menuntut dicabutnya Dwifungsi ABRI yang dituduh mengakibatkan pembunuhan rakyat sipil. Namun, tiba-tiba, massa Pam Swakarsa (Furkon) melempari mahasiswa. Bentrok terjadi hingga malam hari.
Ditanyai pendapatnya mengenai apakah Pam Swakarsa perlu dibubarkan, Menhankam/Panglima ABRI Wiranto saat itu menyatakan tidak setuju jika anggota masyarakat yang melakukan pengamanan itu ditarik dari lapangan. "Ingin mengamankan kok nggak boleh," ujar Wiranto saat itu.
Sementara itu, muncul fakta lain, yaitu bahwa terdapat dua kelompok Pam Swakarsa yang bergerak di Jakarta. Kadispen Kepolisian Daerah metro Jaya Letkol (Pol) Drs Edward Aritonang mengonfirmasi bahwa polisi merekrut tenaga Pam Swakarsa untuk mengamankan SI MPR selama tiga hari itu.
"Tetapi jumlahnya sangat sedikit dan tugasnya pun hanya mengatur lalu lintas," kata Aritonang saat itu.
Mereka yang direkrut polisi diberi tanda pengenal di lengannya dan tidak dibekali senjata apapun. Lebih-lebih, Kapolda Metro Jaya Noegroho Djajoesman dengan tegas mengatakan bahwa Pam Swakarsa binaan aparat keamanan hanyalah sejumlah satpam dan hansip. "Itu pun tugasnya hanya di wilayah mereka sendiri dan di lingkungan perkantoran," katanya.
Lambat laun, mulai terkuaklah protes dari kalangan Pam Swakarsa pembela SI MPR '98 yang datang dari daerah. Mereka mengaku datang ke Jakarta untuk mengamankan sidang istimewa, bukan untuk bentrok dengan mahasiswa.
Noer Indradjaya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Badan Pembinaan Potensi Keluarga Besar Banten dalam konperensi pers menyatakan bahwa terlibatnya warga Banten dalam Pam Swakarsa direkayasa untuk urusan politik.
"Dari informasi yang kami kumpulkan, mereka diajak ke Jakarta dan diberi uang Rp5.000-Rp10.000. Sampai sekarang mereka sendiri tidak tahu siapa yang mengajak," kata Noer. Ia juga meminta warga Banten untuk pulang.
Penarikan mundur juga dilakukan oleh 3.000 anggota Pam Swakarsa asal Madura yang bermarkas di Masjid Istiqlal, setelah terjadinya bentrokan sehari sebelumnya.
"Kami tidak ingin bentrok dengan mahasiswa, karena sama-sama mendukung reformasi," jelas Koordinator Warga Madura, Manaf.
Lalu, siapakah yang mengoordinir massa Pam Swakarsa yang bersenjata bambu runcing itu? Di tengah aksi demonstrasi, yang pada akhirnya berujung pada tragedi Semanggi I pada 12 November 1998, yang memakan 17 korban jiwa, masyarakat hanya bisa menduga bahwa Pam Swakarsa yang memakai kekerasan tersebut diorganisir oleh anggota ABRI. Hal ini baru diakui oleh pelakunya 6 tahun kemudian.
Sakit Hati Berujung Pengakuan
Banyak orang menduga bahwa Menkumham/Panglima ABRI Jenderal Wiranto adalah otak di balik pembentukan kelompok Pam Swakarsa. Mereka menyebut bahwa kelompok sipil ini bagian dari Operasi Mantap yang digelar TNI menjelang Sidang Istimewa MPR. Saat itu, Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat Mayjen TNI Kivlan Zen ditunjuk sebagai koordinator lapangan bersama Brigjen Adityawarman.
Hal ini pun diakui Kivlan sendiri. Ia mengaku bertemu dengan Menkumham Wiranto di Markas ABRI pada 4 November 1998. Dalam pertemuan itu, Kivlan diminta membentuk kelompok sipil bersenjata tajam untuk membendung aksi mahasiswa sekaligus mendukung Sidang Istimewa MPR '98.
Kivlan Zen mengaku saat itu diberi Wiranto uang 400 juta untuk membiayai makan dan transport massa yang datang dari Banten, Tangerang, Depok, Cianjur, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Bandung, Tasikmalaya, Lampung, hingga Makassar. Massa yang lantas dinamai Pam Swakarsa ini diminta berjaga dari tanggal 6-13 November 1998.
Pada tahun 2004, mantan anggota kelompok sipil bersenjata itu meminta pertanggungjawaban Wiranto. Sang Jenderal sebelumnya menulis buku "Bersaksi di Tengah Badai" yang isinya menyangkal keberadaan Pam Swakarsa, satu penafian yang menyakiti hati orang-orang yang terlibat kala itu. Selain menggarisbawahi keterlibatan Wiranto, mereka pun mengakui bahwa tiap anggota Pam Swakarsa, yang berjumlah total 30 ribu orang, dibayar Rp10 ribu per hari untuk mengamankan Sidang Istimewa MPR yang sangat menentukan di tahun 1998 itu.