Mengenang Kembali Masa Kejayaan Islam yang Runtuh Akibat Persekongkolan Ulama dan Negara

| 08 Apr 2022 20:33
Mengenang Kembali Masa Kejayaan Islam yang Runtuh Akibat Persekongkolan Ulama dan Negara
Ilustrasi (Getty Images)

ERA.id - Abad ke-8 hingga 12 masehi menjadi momentum kejayaan Islam. Di era tersebut, lahir para intelektual super cerdas, seperti filsuf Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Farabi, Al-Khawarizmi, hingga Ibnu Haytham.

Mereka banyak berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan, bahkan dampak dari pemikiran mereka terasa hingga kini. Tanpa algoritma, misalnya, mungkin teknologi komputer tak akan ada.

Algoritma merupakan salah satu hasil penemuan intelektual Islam. Selain itu, ada penemuan aljabar, dan bilangan nol hingga bilangan numerik yang juga ditemukan oleh cendekiawan muslim. Seandainya tidak ada penemuan tersebut, bagaimana repotnya manusia menghitung jumlah yang sangat banyak memakai angka romawi. 

Tidak saja dari segi filsafat dan mata ilmu lain, tetapi juga pada zaman itu ilmu planologi sudah diterapkan dengan baik. Kota Baghdad misalnya. Dalam bidang sastra pun begitu, siapa yang tak mengetahui dongeng "Seribu Satu Malam". Karya itu masih dibaca hingga saat ini.

Dalam bidang militer, banyak wilayah yang ditaklukkan oleh pasukan muslim. Walau tak sedikit juga mereka mengalami kekalahan di beberapa titik. Tanpa ilmu pengetahuan militer yang baik, jelas peperangan tak dimenangkan oleh pasukan muslim. 

Perdagangan budak di Aceh, Sumatra (Commons Wikimedia)

Berani Melawan Penguasa

Sekali lagi, kejayaan Islam dalam semua aspek, yaitu pada abad 8 sampai 12. Apa yang telah dilakukan orang-orang hebat pada zaman itu?

Ada tiga faktor yang membentuk secara otomatis ekosistem tersebut, yaitu ulama, intelektual, dan pedagang. Menurut Ahmet T. Kuru dalam buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim (2020), mereka secara sadar tidak mau terlibat dengan negara, bahkan nyawa menjadi taruhannya. 

Pendiri empat mazhab utama Sunni, yaitu Hanafi, Maliki, Safi’i, dan Hambali pernah mengalami persekusi oleh penguasa saat itu (dalam hal ini adalah negara). 

Imam Abu Hanifah dikirim ke penjara, kemudian diracun. Imam Malik bin Anas disiksa dan dipukul. Imam Asy Syafi'i ditahan dan dipersekusi. Yang lebih mengiris hati adalah Ahmad bin Hambal dipenjara, divonis hukuman mati, dan ia tak mampu menghindar dari hukuman itu. 

Mengapa mereka diperlakukan seperti itu oleh penguasa muslim? Sebab, mereka ingin merdeka. Mereka ingin bebas berpikir tanpa cengkeraman negara. Mereka tak mau mengikuti kemauan penguasa. 

Hambali dan banyak ulama lainnya berani mengatakan tidak atau menolak, bahkan mereka mengharamkan menerima uang dari negara. 

Begitu juga dengan intelektual yang banyak menghasilkan penemuan di bidang kedokteran, filsafat, sosial, dan lain-lain tidak mau berkongsi dengan penguasa. Mereka dibiayai oleh pedagang atau pengusaha. Sehingga, para intelektual ini mampu fokus dalam bereksperimen, tidak menjadi intelektual yang politis. 

Tak sedikit juga cendekiawan melayani penguasa yang cinta ilmu pengetahuan dan dunia filsafat. 

Para ulama untuk bisa berdiri kaki sendiri, mereka bertahan hidup dari berdagang. Kemudian, para pedagang murni pun sadar bahwa mereka menyisihkan beberapa keuntungan mereka untuk biayai laboratorium para ilmuwan dan majelis ilmu-ulama. 

Kebebasan berpikir itulah yang mengakibatkan Islam setidaknya beberapa abad menjadi mercusuar intelektualisme dunia. Mereka dijadikan panutan oleh bangsa lain, seperti orang-orang di Eropa Barat. 

Kerajaan Islam Terakhir

Sebelum melihat kenyataan Islam sekarang, coba tengok kekhalifahan terakhir, Turki Usmani. Dari abad ke-13 sampai 15 secara berangsur pengaruh Islam mulai luntur. Para intelektual mulai lesu. Para ulama banyak menuruti kemauan penguasa. Kebebasan berpikir tak lagi ada.

Sedangkan, di Eropa Barat, era renaisans secara bertahap muncul. Negara dan agama sudah dipisahkan. Agama dalam hal ini ialah Katolik fokus dengan jemaahnya dan negara fokus dengan pemerintahannya. Dari sini, intelektual mereka hadir dengan ide-ide spektakuler. 

Dengan jujur mengakui tanpa intelektual muslim, mereka tak akan membaca buku-buku Plato, Aristoteles, dan filsuf Yunani lainnya. Sebab, cendekiawan muslim abad ke-8 sampai 12-lah yang menyalin ulang, menerjemahkan, dan menginterpretasikan pemikiran filsuf Yunani itu.

Turki Usmani memang mampu menaklukkan Konstantionopel dengan kecanggihan militer dan beberapa wilayah mampu dikuasai. Namun, mereka stagnan dalam bidang ilmu pengetahuan. Begitu pun dengan kerajaan Islam lain yang semasa dengan Turki Usmani, yaitu Safawiyyah di Iran dan Mughal di India.

Tiga kerajaan Islam tersebut tidak lagi bereksperimen dalam ilmu pengetahuan. Mereka sibuk dengan militer saja. Pemerintahannya dipegang oleh hasil aliansi ulama dan negara. Dari situ muncul kemandekan berpikir bebas. 

Sedangkan, di Eropa ilmuwan bermunculan. Banyak temuan yang baru ditemukan. Kemudian, ada revolusi cetak, revolusi industri, seperti senjata api, kompas laut, dan mesin cetak. Namun, tiga kerajaan Islam itu jauh mengenal benda tersebut. 

Dalam Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan pada bab "Keruntuhan" menjelaskan bahwa Turki Usmani baru menggunakan mesin cetak setelah Eropa sudah menggunakannya selama 300 tahun. Pada abad ke-18, Eropa Barat menerbitkan 1 juta buku, sedang di Turki Usmani hanya mampu mencetak 50 ribu buku. Masuk awal abad ke-19, Turki Usmani hanya 1 persen melek literasinya, sedangkan di Eropa sudah mencapai 30-an persen. 

Ilustrasi (Commons Wikimedia)

Umat Islam Kini

Dengan runtuhnya Turki Usmani pada awal abad ke-20, maka berakhirlah kerajaan atau kesultanan Islam di muka bumi. Wilayah-wilayah yang pernah dikuasai Turki Usmani berdiri menjadi negara sendiri atas semangat bangsa yang sama. Atas nasionalisme. Di beberapa wilayah muslim lainnya masih ada di bawah kolonialisme.

Negara yang berdiri dipimpin oleh penguasa otoriter. Terjadi kekerasan di mana-mana. Pada awal 2000-an, isu teroris dari kalangan umat Islam masif di beberapa tempat, salah satunya di Indonesia. 

Demokrasi di negara mayoritas muslim begitu rendah nan sedikit. Pembangunan dan sosioekonomi jelas jauh dari bangsa Eropa. Di Eropa atau Amerika, agama dan negara dipisahkan, menerapkan sekularisasi. Manusianya mencintai ilmu pengetahuan. Penelitian-penelitian terbaru terus hadir dari ruang laboratorium. 

Sedangkan, di negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim, jauh dari itu semua. Tingkat membaca buku rendah. Semangat menelitinya sedikit. Dan yang terkhusus, negara mengurusi urusan agama. Ulama dan negara terlalu mesra.

Rekomendasi