Sejarah 22 April: Peringatan untuk Bumi yang Semakin Tua dan Sakit-sakitan

| 22 Apr 2022 20:13
Sejarah 22 April: Peringatan untuk Bumi yang Semakin Tua dan Sakit-sakitan
Pekerja memasang panel surya bantuan PT Bank Syariah Indonesia Persero Tbk (BSI) untuk 15 masjid dan musala di daerah yang belum terjangkau listrik di Nusa Tenggara Timur (NTT) (ANTARA)

ERA.id - Google mengingatkan penggunanya bahwa hari ini, 22 April adalah Hari Bumi. Doodle menampilkan dampak perubahan iklim di empat lokasi berbeda. Ada satu gambar menunjukkan Gunung Kilimanjaro di Tanzania Afrika. Terlihat ada penyusutan gletser dari Desember 1986 hingga Desember 2020.

Yang kedua ditampilkan foto time lapse perubahan alam yang awalnya berselimut salju, kemudian secara bertahap berubah kering. Bila dilihat dari titimangsanya, perubahan itu berawal dari Desember 2000 sampai Desember 2020. Selama 20 tahun. Perubahan alam itu sebagai penanda bahwa bumi sedang tak baik-baik saja. Gambar itu berlatar di lapisan es Sermersooq, Greenland.

Gambar ketiga dari Great Barrier Reef di Australia, yaitu adanya perubahan warna koral di bawah laut, diambil dari Maret hingga Mei 2016. Dan gambar keempat merupakan gambar dari Harz Forests di Elend, Jerman. Gambar tersebut diambil dari 1995 hingga 2020, memperlihatkan hutan hancur karena serangan kumbang bark beetle akibat kenaikan suhu dan kekeringan parah.

Google Doodle

Seberapa urgen sehingga Google mesti menampilkan peringatan Hari Bumi? 

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjelaskan bahwa perubahan iklim mengacu berdasarkan pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Pergeseran ini terjadi secara alami, seperti melalui variasi siklus matahari. 

Perubahan iklim sebenarnya adalah sudah alamiah. Pasti ada perubahan. Namun, sejak 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, wabilkhusus akibat penggunaan bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas. 

Keterangan tambahan di laman PBB bahwa "Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bekerja seperti selimut yang melilit Bumi, menghasilkan panas matahari dan menaikkan suhu."

Jika sebelum tahun 1800-an, perubahan iklim adalah sebuah keharusan, maka 100 dan 200 tahun terakhir perubahan iklim adalah karena ulah manusia. Keserakahan manusia ini sudah disindir oleh Mahatma Gandhi, Bapak Kemerdekaan India, lewat ucapannya: "Bumi kita cukup untuk menampung seluruh umat manusia, tapi tidak untuk orang yang selalu merasa kurang." 

Peringatan demi peringatan sudah dihimbau oleh orang-orang bijak, tetapi manusia lain punya cara melakukan apa yang mereka mau. Emisi gas rumah kaca terus meningkat mengakibatkan bumi bertambah hangat 1,1°C dibandingkan dari sebelum tahun 1800-an. Yang paling memprihatinkan 1 dekade terakhir (2011—2020) bumi meraih rekor terpanas. 

Dampak dari perubahan iklim ini antara lain, kelangkaan air, kebakaran, kekeringan, naiknya permukaan laut, banjir di mana-mana, cairnya kutub es, badai dahsyat, dan penurunan keanekaragaman hayati. 

Club of Rome, kumpulan ilmuwan, pebisnis, dan aktivis menerbitkan Limit to Growth yang berisi perihal ramalan kebangkrutan bumi menjelang abad ke-21. Akhirnya, pada 1972, diadakanlah Konferensi PBB untuk Lingkungan hidup di Stockholm, Swedia. 

Dalam konferensi itu diakui adanya tanggung jawab universal terhadap kerusakan lingkungan hidup. Sepulang dari Stockholm, Emil Salim dan Radius Prawiro selaku delegasi Indonesia membentuk Kementerian Lingkungan Hidup pada 1978. Dua tahun kemudian, Wahana Lingkungan hidup Indonesia atau Walhi berdiri. Walhi merupakan organisasi lingkungan pertama di Indonesia, yang dibentuk oleh 10 organisasi sosial di Jakarta.

Pertemuan ke pertemuan oleh petinggi negara terus dilakukan untuk membahas bumi manusia ini. Janji-janji untuk menyelamatkan bumi terus digalakkan, tetapi di waktu bersamaan penggunaan bahan fosil tetap dilakukan. Batu bara masih menjadi bahan utama untuk pembangkit listrik. 

Tidak mudah mengurasi emisi gas rumah kaca, sebab itu melibatkan banyak pengusaha, politik, dan jelas akan berpengaruh terhadap ekonomi suatu negara. Dan juga menuju ekonomi lebih hijau membutuhkan ongkos yang lebih mahal. 

Pernyataan Ignatius Haryanto dalam tulisannya "Pergulatan Melestarikan Bumi", Kompas (21/02/2020), mengatakan bahwa menulis masalah lingkungan hidup ataupun perubahan iklim ini tidaklah mudah karena isunya cukup rumit dan bertemali dengan persoalan lain, seperti ekonomi, politik, hubungan internasional.

Menurutnya, "Butuh jurnalis yang memiliki spesialisasi dalam bidang ini untuk meliput isu tersebut. Ada banyak tantangan yang dihadapi oleh jurnalis lingkungan pada saat mereka meliput; mulai dari terbatasnya informasi terbuka dari pemerintah, keberadaan 'mafia' yang mengancam kerja profesional jurnalis, serta masyarakat yang masih memiliki pengetahuan terbatas akan masalah lingkungan."

Mulai dari Sendiri

Jika menyelamatkan bumi lewat negara begitu ruwet, maka jalan satu-satunya adalah lewat diri sendiri. Walaupun tidak signifikan seperti yang dilakukan para petinggi negara, tetapi setidaknya gerakan individu membantu sedikit memperlambat perubahan iklim ini. 

PBB memberikan sepuluh tindakan untuk membantu mengatasi krisis iklim. Pertama, Hemat energi di rumah; Kedua, jalan kaki, bersepeda, atau naik transportasi umum; Ketiga, perbanyak makan sayur; dan Keempat, pertimbangkan perjalanan Anda jika menggunakan pesawat.

Ilustrasi-Pekerja memasang panel surya  (ANTARA)

Kemudian kelima, buang lebih sedikit makanan; Keenam, kurangi, gunakan kembali, perbaiki dan daur ulang bahan-bahan elektornik dan pakaian; Ketujuh, ubah sumber energi rumah Anda; Kedelapan, beralih ke kendaraan listrik; Kesembilan, pilih produk yang ramah lingkungan; dan Kesepuluh, utarakan atau ungkapkan kepada teman lain untuk melakukan serupa. 

Tindakan-tindakan kecil itu akan berdampak baik untuk bumi.

Rekomendasi