ERA.id - Jayakarta takluk di hadapan orang Belanda yang bernama Jan Pieterszoon Coen pada 30 Mei 1619. Kemenangan itu menjadi poin penting perjalanan penjajahan Belanda di bumi Nusantara—karena akan menjadi markas utama yang sebelumnya berada di Maluku.
Dalam buku Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage Vol. II (2005), menyebutkan bahwa kemenangan Belanda ini sekaligus mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia.
Jan Pieterszoon Coen adalah seorang akuntan dan politikus yang piawai. Ia lahir di kota kecil Hoorn, Belanda, tempat salah satu komunitas pelaut ulung di Zuiderzee. Di usia 13 tahun, ia berangkat ke Roma dan mendapat posisi di kantor seorang pedagang Belanda di kota itu, Mr. Visscher. Sosok ini yang mengubah nama Coen menjadi “Pescatore”.
Coen memanfaatkan waktunya selama di Roma. Selama tinggal tujuh tahun di “Kota Abadi” itu, ia belajar sistem pembukuan Italia. Saat itu, Italia memiliki sistem pembukuan yang baik dibanding di beberapa negeri belahan utara Eropa.
Ia kembali ke Belanda dan menerima tugas baru sebagai pedagang dengan armada VOC yang berlayar menuju Indonesia pada 1607. Bernard H. M. Vlekke dalam bukunya, Nusantara: Sejarah Indonesia (2020), menuliskan bawah armada yang membawa Coen berlayar dengan perintah khusus menjamin monopoli di Kepulauan Rempah-Rempah.
Kata Vlekke, Coen menyaksikan kegagalan ekspedisi itu serta terbunuhnya laksamana mereka bernama Verhoer oleh orang Banda. Orang Banda tidak sendiri. Pembunuhan tersebut disokong oleh orang Inggris.
Tiga tahun berikutnya, 1610, Coen kembali lagi ke Belanda. Sepertinya kematian pimpinannya menyisakkan luka mendalam. Pada 1612, ia kembali berlayar ke Hindia untuk kedua kalinya.
Setibanya di Hindia, Gubernur Jenderal Pieter Both mengangkat Coen sebagai pemegang kepala dan direktur dagang di Banten. Saat itu, Coen masih muda, 28 tahun, menuliskan program politiknya.
Mabuk dan Batavia
Mungkin semacam satire, Alwi Shahab dalam Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013), menulis saat Gubernur Jenderal Coen menaklukan Jayakarta, ia ingin menamakan kota yang baru hancur itu dengan De Hoorn—tempat kelahirannya di Belanda.
Akan tetapi, belum sempat dinamakan, pada suatu pesta kemenangan ada seorang serdadu VOC yang mabuk meneriakkan kata-kata “Batavia ... Batavia ...”. Akhirnya, Jayakarta berubah nama menjadi Batavia.
M. C. Ricklefs punya versi lain. Ia tulis dalam Sejarah Indonesia Modern: 1200—2008 (2022). Kata Riklefs, pemberian nama Batavia sesuai dengan nama suku bangsa Jerman kuno yang berada di negeri Belanda.
Tahun 1611, VOC sudah memiliki sebuah pos di Jayakarta. Pada Desember 1618, Banten mengambil keputusan untuk menaklukan Jayakarta dan VOC. Sudah ada ketegangan antara Jayakarta dan Banten, kemudian Belanda dan Inggris juga terlibat di dalamnya.
Laksamana Inggris, Thomas Dale, didesak agar pergi ke Jayakarta untuk mengusir orang-orang Belanda. Di pelabuhan, Coen bersama armada kecilnya menghadang Dale. Alih-alih menang, malah Coen dipukul mundur dan pergi ke Maluku meminta bala bantuan lebih besar.
Sementara itu, Dale dan Wijayakrama—pengeran muslim Jayakarta—bersekutu mengepung benteng Belanda. “Ketika personel VOC menyerah pada akhir Januari 1619, tiba-tiba muncul balatentara Banten menghalangi maksud mereka. Agaknya Banten tidak ingin pos VOC yang menyusahkan itu digantikan oleh pos Inggris yang tentunya juga akan sama menyusahkan bagi Banten,” kata Ricklefs.
Pasukan Banten membuat Thomas Dale melarikan diri ke kapalnya dan juga memukul mundur Pangeran Wijayakrama ke wilayah pegunungan. Pasukan VOC yang tersisa berada di dalam pos mereka yang dikelilingin benteng, sedangkan tentara Banten mengusai kota.
Setelah itu, selama dua bulan, tidak terjadi banyak peristiwa. Di masa-masa itulah, personel VOC menghabiskan banyak waktu dengan, kata Ricklefs, “mencampuradukkan kemaksiatan dan kesalehan”.
Di saat “mabuk”—seperti tulisan Alwi Shahab—itulah, pasukan VOC mengambil keputusan pada 12 Maret 1619 untuk memberi nama baru Jayakarta menjadi “Batavia”.