ERA.id - Gita Savitri Devi atau yang lebih populer dipanggil Gitasav berhari-hari trending di Twitter. Sebelumnya ia memang terkenal kerap melempar pernyataan ‘pinggir jurang’, mulai dari membela transpuan yang masuk ke wc perempuan; mengecam Qatar yang jadi tuan rumah piala dunia dan tak ramah LGBT; menyebut netizen stunting; hingga yang terakhir, opini soal rahasia awet muda adalah tak punya anak.
Gitasav kita tahu menganut paham childfree atau ogah punya anak. Kapan hari ia kira-kira bilang begini di komentar Instagram, "Enggak punya anak emang anti penuaan alami. Lo bisa tidur delapan jam sehari, enggak stres dengerin anak kecil teriak-teriak. Nah pas lo mulai keriput, lo bisa pake uangnya buat bayar botox."
Netizen ramai merujak Gitasav, entah dengan adat ketimuran yang sopan atau memaki dengan segala jenis fauna seperti yang dilakukan komika Popon Kerok. Ada juga yang mendoakan semoga Gitasav cepat dikaruniai anak –doa yang entah baik atau buruk. Perempuan lulusan Freie Universität Berlin, Jerman itu tetap teguh dan melawan.
Gitasav lalu mengadakan siaran langsung di Instagram bareng suaminya, Paul, mungkin dengan harapan dapat menjawab segala keluh kesah netizen. Namun, efek yang ditimbulkan malah sebaliknya. Netizen bukannya puas justru dapat bahan baru untuk pergunjingan duniawi. Lagi-lagi namanya kembali trending di Twitter dan bersaing di puncak klasemen.
Sebetulnya sah-sah saja Gitasav melontarkan opini apa pun, toh kebebasan berpendapat di negara ini dilindungi undang-undang. Dari dulu juga ibu-ibu sudah sering membagikan momen bahagia mereka bersama dedek bayi tercinta, menceritakan pengalaman mereka sebagai orang tua, dan bangga dengan pilihan mereka buat punya anak. Gitasav hanya melakukan sebaliknya.
Hanya saja, heboh-heboh soal Gitasav dan childfree ini mengingatkan kami dengan pesan dari filsuf asal Mojokerto, Fahruddin Faiz yang pernah bilang begini waktu diwawancara Gita Wirjawan, “Kebijaksanaan itu melampaui sekadar kebenaran. Jadi bijaksana itu ngerti cara menggunakan kebenaran secara pas.” Ia lalu mencontohkan orang yang bijak itu paham kapan harus ngerem omongan –meskipun ia tahu itu benar– agar tidak menimbulkan masalah baru.
Gitasav boleh jadi benar, boleh jadi salah, tetapi apakah sikapnya menunjukkan kebijaksanaan? Persoalan ini bisa juga kita ajukan ke netizen, apakah komentar-komentar mereka ke Gitasav bijaksana? Bagi kami, keduanya sama-sama masih harus belajar untuk jadi bijaksana, khususnya dalam merespon sesuatu yang ada di internet.
Dan buat Gitasav, sesungguhnya pilihan untuk meredam hujatan netizen dengan selalu tanggap meladeni mereka adalah kurang bijak dan hanya memperkeruh suasana. Pesannya agar perempuan dapat berdikari tak sampai ke masyarakat, ia justru dimusuhi banyak emak-emak, dan haters-nya juga tak berkurang.
Lalu, apa yang harus kita lakukan saat berhadapan dengan netizen yang maha benar? Masak harus diam saja melihat mereka menjelek-jelekkan kita hingga viral?
Diam itu emas, nasehat yang terus relevan
Dunia sudah diramalkan akan menjadi desa global sejak tahun 1960-an, hal ini dituliskan Marshall McLuhan dalam bukunya Understanding Media. Artinya, dunia bakal terasa sempit, semuanya saling terhubung tanpa sekat dan seolah-olah tiap orang kenal satu sama lain. Ramalan McLuhan diwujudkan oleh teknologi bernama internet.
Internet membuat pola komunikasi orang-orang berubah dan peredaran informasi menjadi sangat cepat. Apalagi setelah ada penemuan bernama media sosial. Kita bisa mengintai apa yang terjadi di seluruh dunia dari atas kasur di kamar kita yang terpencil. Tiap hari selalu ada berita dan beritanya selalu baru tiap saat.
Dahulu, orang-orang harus membayar paparazi untuk menguntit selebriti dan mengorek gosip teranyar. Hari ini, gosip-gosip itu datang dengan sendirinya tanpa diminta. Akun-akun seperti Lambe Turah menerima kiriman dari netizen tiap hari. Kita hidup di zaman yang semuanya serba kentara dan nyaris tak ada yang bisa disembunyikan.
Di zaman ini, bahkan seorang remaja SMP yang patah hati di pelosok negeri pun bisa viral ke mana-mana. Maka wajar kehidupan seorang selebgram dengan ratusan ribu pengikut di Instagram dan jutaan subscriber di Youtube seperti Gitasav tak bakal lepas dari pantauan netizen.
Gitasav pernah mengunggah satu video dengan sampul gambar wajahnya bertuliskan “Trending lagi?!?!”. Harusnya, sebagai public figure, ia tak kaget lagi dengan hal begitu. Kehilangan privasi adalah harga yang harus dibayar untuk menjadi terkenal, seolah-olah hidup kita adalah konsumsi publik. Ada dua cara hidup bagi mereka yang terlanjur beken, entah itu dengan pencitraan seperti politisi atau menjadi apatis.
Pertama, kalau kita tak tahan dihujat orang, anti kritik, atau ingin tampak baik di mata orang lain, maka kita harus berhati-hati dalam berbicara dan bersikap. Bahasa lugasnya: tidak banyak tingkah. Ini yang tidak dilakukan Gitasav saat mengetik soal “tidak punya anak adalah rahasia awet muda alami karena anti stres”.
Komentar tadi mungkin bisa dibaca sebagai satire dan ditertawakan saja, atau bisa juga dibaca begini: ibu-ibu yang punya anak cepat tua karena stres ngurusin anaknya. Sialnya, mayoritas netizen membacanya seperti versi kedua, yaitu dengan nada merendahkan perempuan yang memutuskan untuk memiliki anak dan menganggap childfree sebagai pilihan paling baik. Gitasav bisa saja tak bermaksud begitu, tapi netizen peduli apa?
Nah, sekarang kalau sudah terlanjur viral dan nama jadi jelek di mana-mana, harus ngapain biar kutukan itu berakhir? Simpel, didiamkan saja, tak usah dipedulikan. Bukan tanpa alasan nasehat "diam itu emas" diwariskan turun-temurun dan masih bertahan hingga hari ini.
Komedian berdarah Afrika-Amerika, Dave Chappelle bilang kalau dunia ini penuh berita, saking banyaknya sampai-sampai berita hari ini bakal kita lupakan esoknya. Orang-orang tak ada yang benar-benar peduli, menurut Dave, bagaimana mungkin mereka bisa peduli pada sesuatu saat mereka terlalu tahu banyak hal?
Misalnya saja tragedi Kanjuruhan, baru tiga bulan lalu 135 orang mati gara-gara tembakan gas air mata, apakah hari ini masih ramai? Tidak. Malah para tersangkanya sudah dibebaskan. Lalu siapa yang masih ingat dengan gempa Cianjur? Itu baru lewat dua bulan, rumah-rumah yang roboh juga masih dibangun, tapi hari ini mata kita semua tertuju ke bencana yang lebih besar: gempa Turki-Suriah.
Apalah artinya ribut-ribut soal childfree dibanding itu semua? Berita menantu selingkuh dengan mertua saja sudah redup dan banyak dilupakan, berita Tiko dan ibunya yang terlantar 12 tahun di rumah mewah juga sudah basi.
Semua contoh di atas membuktikan bahwa meskipun jejak digital akan terus ada, tetapi ingatan netizen tentang segala hal di internet sifatnya hanya jangka pendek. Hari ini ramai, besok belum tentu. Misalkan besok-besok nama Gitasav masih tetap ramai, berarti memang ia memilih untuk terus viral dan kita tak perlu repot-repot mengurusinya lagi.