Nyaleg hingga Pilkada, Fenomena Artis Terjun Politik Modal Popularitas Atau Kapasitas?

| 07 Jun 2024 20:55
Nyaleg hingga Pilkada, Fenomena Artis Terjun Politik Modal Popularitas Atau Kapasitas?
Ilustrasi. (Era.id/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Fenomena artis terjun politik setiap pemilihan umum (pemilu) makin jamak terjadi. Hari ini, kita bisa asyik menyaksikan pemeran Oneng di Bajai Bajuri memarahi pemerintah agar membatalkan peraturan soal Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan Si Doel Anak Betawi mengkritik pedas wacana makan siang gratis tepat di jantung parlemen Indonesia. 

Artis-artis yang dulu hanya kita tonton di layar kaca mengisi sinetron atau panggung-panggung musik, kini bisa dengan mudah kita temukan sedang berjibaku dalam rapat-rapat penentu nasib rakyat. Bukan sebatas di panggung-panggung legislatif, tapi hingga menjangkau kursi-kursi eksekutif. Apa pun yang bersifat elektoral, hampir semua artis punya peluang besar untuk tampil.

Rano Karno, pemeran Doel legendaris, berhasil menjadi Gubernur Banten periode 2014-2017. Pada Pemilu 2019, ia lolos jadi wakil rakyat dari PDI Perjuangan di Daerah Pemilihan (Dapil) Banten 3. Kini ia fokus di Komisi X, salah satunya mengurusi pendidikan. Karena itu kita bisa lihat ia marah-marah ke Kemendikbudristek saat rapat dengar pendapat di DPR pada Selasa (4/6/2024) lalu.

Dalam pemilu kemarin, ada puluhan artis menyalonkan diri jadi wakil rakyat. PAN paling banyak menyumbang nama artis dengan jumlah 11 orang, termasuk Eko Patrio yang lagi-lagi tembus ke Senayan. Di bawahnya ada PDIP dengan 10 caleg artis, antara lain Rano Karno dan Rieke Diah Pitaloka yang sama-sama sukses mengamankan kursi mereka di DPR RI.

Pileg usai, masih ada pilkada menunggu di depan mata. Dan lagi-lagi, sederet nama artis kembali masuk bursa pencalonan kepala daerah. Di antaranya ada nama Rano Karno yang digadang-gadang bakal maju sebagai calon wakil gubernur Banten. Ia pun diketahui telah mengambil formulir pendaftaran calon di internal PDIP diwakilkan oleh tim pemenangannya, Beno Muhamad.

Nama besar lain yang berpeluang besar maju pilkada adalah pentolan Dewa 19, Ahmad Dhani. Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan partainya akan mengusung musisi sekaligus kader Partai Gerindra itu untuk maju sebagai calon Wali Kota Surabaya. 

Sebelumnya, Ahmad Dhani pun telah lolos sebagai anggota DPR RI 2024-2029 di Dapil Jawa Timur I (meliputi Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo).

"Untuk Pilkada Surabaya, Partai Gerindra sedang mempersiapkan Ahmad Dhani untuk maju sebagai calon wali kota," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/5/2024).

Raffi Ahmad hingga Ronal Extravaganza ikut meramaikan bursa Pilkada 2024

Nama Raffi Ahmad santer disebut-sebut bakal maju dalam Pilkada 2024. Ia masuk dalam bursa calon Wakil Gubernur Jawa Tengah mendampingi Bupati Kendal Dico Ganinduto. Saat ditanya wartawan, suami Nagita Slavina itu mengaku bakal memikirkan tawaran itu.

"Jujur ya, gua jadi keringet dingin nih gemeteran. Mas Dico aja tadi pas live langsung nemenin dia buat Jawa Tengah, gua langsung nganga," kata Raffi Ahmad saat ditemui kepada awak media, Selasa (28/5/2024).

"Mas Dico saya belum bilang tidak dan iya, saya izin minta waktu lebih dulu buat memikirkan ini karena ini hal baru buat saya," lanjutnya. Meski begitu, ayah dua anak itu menunjukkan minatnya ikut kontestasi pilkada. Ia berdalih tertarik memajukan UMKM.

Sementara itu, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai NasDem Prananda Surya Paloh terang-terangan membuka peluang mengusung artis dari kader mereka pada Pilkada 2024.

"Mungkin saja bisa terjadi ya. Kami juga punya Nafa Urbach dan beberapa teman-teman, ada Ramzi," kata Prananda saat memberikan keterangan pers di NasDem Tower, Jakarta, Selasa (28/5/2024).

"Kalau keinginan dari mereka sendiri, ya, kami sangat open. Dan yang pasti Partai NasDem adalah partai yang terbuka untuk semua, dan kami akan mengutamakan kader-kader kami," ujarnya.

Sebelumnya, Ramzi yang terkenal sebagai presenter maju dalam Pileg 2024 di Dapil Jawa Barat V, tetapi gagal lolos ke senayan. Sementara Nafa Urbach berhasil lolos dengan 67 ribu suara di Dapil Jawa Tengah 6.

Ada juga PAN yang membuka peluang kader artisnya maju dalam pilkada, yaitu Eko Patrio yang saat ini merangkap Ketua DPD PAN Jakarta dan Desy Ratnasari yang duduk di Komisi X DPR RI. Eko dipersiapkan maju dalam Pilkada Jakarta, sedangkan pelantun lagu “Tenda Biru” disiapkan untuk Jawa Barat.

Selanjutnya, jebolan Extravaganza, Ronal Surapradja juga tampak menunjukkan minatnya maju sebagai calon Wali Kota Bandung. Lewat unggahan Instagram pribadinya, Senin (20/5/2024), ia membagikan video memori kenangan dirinya selama tinggal di Bandung. Di akhir video, muncul poster Ronal sebagai bakal calon Wali Kota Bandung.

Ronal sempat maju dalam Pemilu 2024 dari PDIP untuk Dapil Jawa Barat XI. Sayangnya, ia gagal lolos ke Senayan setelah hanya mengumpulkan 5.747 suara.

Pergeseran peran artis sebagai vote gatter

Pesohor atau artis sejak lama dijadikan alat vote gatter atau pendulang suara oleh partai politik (parpol). Namun, kapan tepatnya fenomena artis Indonesia terjun langsung ke kontestasi politik nasional bermula?

Dalam studi peneliti politik dari Universitas Indonesia (UI), Ikhsan Darmawan, artis mulai mengambil peran sebagai vote gatter pasca-Orde Baru. Namun, dulu peran mereka masih sebatas celebrity endorser atau memberikan dukungan kepada parpol tertentu untuk menarik calon pemilih.

Menurut Ikhsan, endorsement selebriti dipakai untuk membentuk bagaimana seorang calon peserta pemilu dilihat oleh publik. Mereka ikut membantu menambah penerimaan calon dengan calon pemilihnya.

Fenomena ini bukan hanya terjadi dalam negeri. Barack Obama, misalnya, menggunakan endorsement selebriti untuk membuatnya lebih dikenal, salah satunya lewat wasilah Oprah Winfrey. Campur tangan host kawakan itu diyakini ikut mendulang popularitas dan kredibilitas Barack Obama di mata publik.

Sementara di Indonesia, pada Pemilu 1999, parpol mulai sering menggunakan tangan selebriti untuk menjangkau lebih banyak pemilih. 

“Pada pemilu ini, selebriti hanya ‘dimanfaatkan’ untuk memberikan endorsement kepada publik. Selain itu, mereka dilibatkan dalam kampanye-kampanye partai politik dan dijadikan juru kampanye (jurkam),” tulis Ikhsan dalam studi berjudul “Keterlibatan Selebriti dalam Pemilu Indonesia Pasca-Orde Baru”.

Selebriti Indonesia baru masuk lebih dalam ke politik dengan menjadi celebrity politician setelah Pemilu 1999. Berbeda dengan celebrity endorser, celebrity politician ikut mencalonkan diri dalam pemilu. Ikhsan pun merangkum tiga alasan mengapa makin banyak selebriti terjun dalam konstestasi politik.

Pertama, perubahan sistem pemilu dari proporsional tertutup ke proporsional terbuka pada tahun 2004. Sebelumnya, selebriti tak dilibatkan sebagai kontestan karena pemilih hanya memilih parpol, bukan individu. Ketika sistem pemilu beralih menjadi terbuka, pemilih bisa langsung memilih caleg.

“Perubahan sistem ini berpengaruh kuat mendorong partai politik merekrut individu-individu yang memiliki modal individu yang kuat, termasuk selebriti yang memiliki modal popularitas,” sebut Ikhsan.

Pada Pemilu 2009, disebutkan bahwa posisi parpol mulai menurun, dengan 60 persen pemilih memilih caleg di surat suara mereka alih-alih parpol. Akhirnya, semakin banyak parpol yang bersandar kepada popularitas selebriti.

Alasan kedua, perubahan perilaku pemilih Indonesia yang sebelumnya berbasis aliran. Belakangan, pemilih lebih banyak mengacu kepada figur ketimbang ideologi partai. Party identity atau identifikasi pemilih terhadap parpol cenderung semakin turun. 

“Berangkat dari kondisi itulah mengapa caleg selebriti memiliki peluang besar untuk dipilih karena diasumsikan bahwa mereka memiliki modal popularitas,” tulis Ikhsan.

Ketiga, pragmatisme parpol. Menurut Ikhsan, semakin ke sini parpol cenderung memilih untuk menjadi catch-all party atau partai yang berusaha meraup suara dari semua segmen pemilih. Hal tersebut menjauhkan parpol dari pemilih ideologis mereka yang jumlahnya sedikit. 

Pragmatisme itu terwujud dalam rekrutmen dan pencalonan berdasarkan dua hal: Popularitas dan modal finansial (ongkos politik). Sementara selebriti biasanya punya keduanya, sehingga tak heran akhirnya banyak yang terjun ke politik dan parpol menerima mereka dengan senang hati.

Lalu, apakah keterlibatan selebriti dalam perpolitikan merupakan hal buruk? Pengamat politik Hendri Satrio mengatakan tergantung kapasitas. Selama mereka punya kapasitas sebagai politikus, tentu bukan masalah.

“Hanya memang kapasitasnya sudah cukup atau belum? Nah itu time will tell ya... pengalaman yang bisa membuat mereka terlihat punya kapasitas atau belum. Kalau Pasha Ungu kan memang sudah punya kapasitas, sudah pernah memimpin, pernah jadi kepala daerah. Eko Patrio juga sudah pernah mimpin DPD. Nah jadi pasti punya kapasitas,” ujar Hendri kepada Era.id, Jumat (7/6/2024). 

“Nah yang lain-lain juga punya pengalaman yang luar biasa ya dan mereka sudah cukup punya pengalaman dalam kehidupan. Jadi menurut saya, kapasitas sih gak masalah,” sambungnya.

Pencalonan artis dalam kontestasi politik juga ia nilai masuk akal karena mereka sudah punya modal popularitas yang lebih maju ketimbang elektabilitas. Meskipun semua itu bukan jaminan mereka akan menang.

“Popularitas mereka jelas tinggi sekali, dan itu satu langkah atau satu kaki lebih maju dibandingkan elektabilitas. Nah elektabilitas ini sangat tergantung dengan momentum, kalau mereka bisa memanfaatkan momentum, mereka pasti terpilih juga. Masalahnya, mereka momentumnya ketemu gak? Nah itu harus dicari tahu dan dibuat momentumnya,” tutup Hendri. 

Rekomendasi