ERA.id - Momen Natal 2020 terletak di ujung ayunan pendulum 'tahun pandemi' yang asing, mengejutkan, atau bahkan memuakkan bagi banyak kalangan. Meski masih sama-sama dirayakan di sekitar tanggal 25 Desember, momen Natal kali ini membawa serpihan makna yang mengendap selama setahun terakhir. Dan bagaimana itu diproses, tentu berbeda satu orang dengan yang lain.
Itulah yang menuntun saya untuk bertemu dengan Destyan Pijar Buana, 29 tahun. Sebagai penggerak komunitas kamera analog di Semarang dan pemilik bisnis kamera roll film, Local Analog Camera, saya ingin tahu bagaimana ia menjalani 12 bulan yang penuh kejutan ini.
"Aku bikin rencana banyak banget di 2020. Aku harus cancel itu semuanya," kata Tyan pada saya via konferensi video, Kamis (24/12/2020) siang.
Tyan saat itu sedang duduk di dalam toko kecilnya di kawasan Tembalang, Semarang, Jawa Tengah. Toko kamera analog - yang desain fisiknya diinspirasi warung-warung kopi di Shibuya dan Thailand yang minimalis dan hangat - rencananya mau ia buka pada momen Natal tahun ini. Sebagai salah satu pelopor penghobi kamera roll film di Semarang, ia pun ingin mengundang teman-teman komunitasnya di toko tersebut. Namun, itu semua urung ia jalankan.
"Sebenarnya kemarin teman-teman sudah nggak masalah, meski di situasi pandemi ini, oke-oke aja," kata Tyan. "Tapi kalau kupikir lagi, aku takut untuk yang ke belakangnya itu, lho (dampaknya). Takut kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan. Jadi, terpaksa mengurungkan."
Membatalkan launching toko fisik sebenarnya baru satu dari sekian pembatalan yang harus dilakukan Tyan selama tahun 2020. Tahun ini, rencana acara, workshop, dan hal-hal lainnya seputar komunitas kamera analog harus ia tangguhkan, sangat kontras dengan periode tahun 2018 dan 2019 ketika ia merasa semua aspek bisa berjalan dengan lancar.
Baginya, pembatalan acara-acara komunitas ini tak sekadar mengurungkan momen bertemu sesama penghobi kamera analog. Seperti yang Tyan katakan, ia khawatir tahun 2020 telah merampas 'momentum' hobi kamera analog, yang kini telah menjadi salah satu bisnis yang ia geluti. Meski peminat kamera analog di Semarang sudah eksis sejak awal 2000an, namun, ia merasakan bahwa basis komunitas kamera analog - yang 75 persennya diisi kalangan mahasiswa - masih bisa goyah.
"Aku takutnya, analog ini, karena orang-orangnya baru, banyak teman-teman analog yang jadi mood-mood-an (berubah minat) juga. Ketika komunitasnya udah jarang ngumpul, akhirnya banyak yang pindah hobi," sebut Tyan.
"Ketakutannya itu kehilangan momentum. Kehilangan klien. Pindah hobi, gitu lho."
Tak heran mendekati momen Natal, yang menjadi perhatiannya adalah kondisi bisnis di tahun ini. Bila di tahun 2019 ia bisa mengadakan satu event tiap 2 bulan sekali, maka di tahun ini kerjasama dengan kafe, workshop, dan kerjasama dengan komunitas lain harus dihentikan. Tyan pun terpaksa melakukan penyesuaian saat merayakan Natal dengan keluarganya. Ia mengaku lebih banyak merayakan Natal di rumah, menaati aturan Gereja dan protokol kesehatan, terutama karena ia saat ini telah memiliki anak kecil.
"Nggak bisa ke mana-mana, yang penting sama keluarga. Tapi itu tidak mengurangi esensi Natal sendiri."
Kehidupan komunitas kamera analog yang 'tiarap' juga berusaha ia terima dengan lapang dada. Pada November lalu, ia dan komunitasnya menyadari bahwa praktis sudah tidak ada lagi kesempatan untuk membuat acara selama tahun ini.
"Tahun 2020 ini kuanggap untuk mamatangkan konsep aja, sih. Itu untuk apapun ya. Bisnis, rumah tangga. (Ketika) yang 2019 apapun diberikan, 2020 ini diuji dengan harus ditarik semuanya. Belum bisa rilis, apapun itu."
"Semua usaha yang kita jalani, yaudah, dikonsep dulu dengan matang. Besok 2021 baru dikeluarkan."