Ngobrol Bareng Manik Marganamahendra: Aktivis Mahasiswa yang Banting Setir Jadi Caleg Perindo

| 24 Jul 2023 20:15
Ngobrol Bareng Manik Marganamahendra: Aktivis Mahasiswa yang Banting Setir Jadi Caleg Perindo
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

"Manik itu artinya mutiara. Marganamahendra ini titisan Arjuna milik Dewa Mahendra."

ERA.id - Manik Marganamahendra, mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), yang mukanya sering menghiasi media kala demo besar-besaran tolak RUU KUHP dan RUU KPK pada 2019 silam, berkunjung ke kantor ERA, Jumat (21/7/2023).

Penampilannya rapi, dengan kemeja merah marun yang diselipkan ke dalam celana bahan, dan sepatu pantofel kulit cokelat yang necis. Seingat kami, dulu rambutnya lebih gondrong dan kumisnya lebih lebat. Waktu itu, ke mana-mana ia masih sering mengenakan jas almamater kuningnya dan turun ke jalan-jalan.

Ketika diundang masuk ke Ruang Rapat Badan Legislasi DPR RI, Senayan, empat tahun silam, Manik berkata tegas. "Kami hari ini nyatakan mosi tidak percaya kepada Dewan Pengkhianat Rakyat."

Manik Marganamahendra (kanan), caleg DPRD Dapil 6 DKI Jakarta dari Perindo di kantor ERA. (ERA/Muslikhul Afif)

Empat tahun berlalu, mantan aktivis kampus yang vokal dan kritis itu menyatakan diri bakal maju jadi calon legislatif (caleg) DPRD dari partai Perindo. Daerah pemilihannya di Jakarta Timur, mencakup Kecamatan Makasar, Cipayung, Ciracas, dan Pasar Rebo.  

Sambil mencoba peruntungannya di politik, alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu kini bekerja di Indonesia Youth Council for Tobacco Control (IYCTC) dan pulang-pergi dari rumahnya di Bogor ke kantornya di Menteng tiap Senin-Jumat.

Selama kurang lebih 45 menit kami mengobrol soal pilihannya gabung ke parpol, dari mana ia menyiapkan dana buat kampanye nanti, hingga kepentingan yang mau ia perjuangkan jika lolos ke legislatif.

Empat tahun lewat sejak lu jadi Ketua BEM UI, sekarang lu nyoba masuk sistem yang dulu lu kritik habis. Ada yang bilang, there are no permanent enemies, there are no permanent friends, there are only permanent interests. Jadi, kepentingan lu apa buat gabung partai politik?

Wah oke, berat banget nih baru buka ditanya kayak gini ya. Sebenarnya simpel, gue ini masyarakat, rakyat biasa, dan kehidupan gue sehari-hari itu kan juga penuh kepentingan. Gue pengen punya rumah yang layak, layanan kesehatan yang baik, makanan yang murah, pendidikan bagus.

Manik Marganamahendra, mantan Ketua BEM UI 2019. (ERA/Muslikhul Afif)

Jadi ya secara personal kepentingan gue juga urusan-urusan ke masyarakat gitu, dan lebih besar daripada itu adalah gue yakin bahwa kayaknya gak cuma gue doang yang merasakan hal yang sama, pasti ada banyak orang lain juga. Jadi ya kepentingan gue secara personal dan kepentingan secara kolektif orang-orang yang tidak lahir dari keluarga-keluarga privilege.

Lu gak privilege berarti?

Kalau privilege secara ekonomi, enggak. Tapi kalau misalnya akses mungkin bisa dibilang gue alhamdulillah dapat akses gitu. Gue tidak menghindari juga untuk disebut punya privilege. Tapi secara ekonomi atau misalnya keturunan kan enggak. Jadi gue ngerasa kita sharing kepentingan yang sama dengan orang-orang lain. 

Gimana ketika kepentingan yang lu perjuangin itu ternyata seiring berjalannya waktu bertentangan dengan kepentingan partai atau kepentingan pimpinan, apa yang lu lakukan?

Ya itulah politik menurut gue, di mana kita diuji, dicoba untuk akhirnya bisa bernegosiasi, dalam tanda kutip, untuk bisa tarik ulur kepentingan. Tapi yang paling penting adalah gimana akhirnya gue berjuang untuk kepentingan yang menurut gue itu layak untuk diperjuangkan.

Mau berbeda pandangan sama pemilik modal katakanlah, sama ketua partai atau segala macam, tapi kan ini demokrasi ya. Ketika tidak dilakukan sama sekali ya kita mungkin gak pernah ngeliat itu ada. Maksudnya, setidaknya ini didiskusikan, dibahas. Harapannya justru bisa tukeran, mengganti pemikiran orang-orang yang tadinya mungkin gak sepakat bisa jadi sepakat, nah itu dia politik.

Lu kan gabung Perindo, gua denger Perindo duluan yang deketin lu dan ngeyakinin buat gabung?

Oke, sebenarnya akhirnya dua belah pihak. Betul Perindo datang, ya gak bisa dipungkiri partai politik kan pasti nyari kader, gak cuma Perindo doang sebenarnya, ada juga yang lainlah.

Akhirnya gue juga follow up dan terjadilah diskusi yang cukup intens antara gue, kebetulan juga ketemunya sama Michael Sianipar waktu itu. Jadi akhirnya kita diskusi lebih dalam tentang Perindo. Jadi gue ngerasa akhirnya ya betul ada kesempatan, ada momentum yang menurut gue perlu gue ambil.

Apa yang membuat lu yakin Perindo ini kendaraan yang tepat buat lu maju caleg? 

Banyak hal sih sebenarnya. Pertama, karena Perindo belum pernah diuji di Senayan. Dan yang kedua adalah, gue ngerasa bahwa ada banyak orang yang menurut gue punya visi yang cukup sama, misalnya Michael Sianipar.

Ada banyak orang-orang muda lain yang gua ngerasa, oh kita punya pemahaman yang sama tentang politik, kita punya isu yang juga bisa diperjuangkan bersama, misalnya masalah kesehatan, reformasi internal partai, dsb.

Intinya kayak gitu sih. Jadi gue ngerasa yakin bahwa Perindo bisa memberikan ruang dan ruang ini layak untuk dikasih warna. Dan gue merasa, gue bener-bener punya kebebasan untuk menentukan dan menyampaikan sikap gitu.

Lu kan sering ngajak anak muda buat ikut jejak lu, tapi banyak yang pesimis dan skeptis kalau ngomongin anak muda terjun politik. Gimana lu meyakinkan mereka, kenapa sih anak-anak muda harus ikut politik?

Gini sih konsepnya, pertama gue menarik orang-orang muda bukan, dalam tanda kutip ya, terjun langsung semuanya ke politik ramai-ramai, itu pilihan. Lu mau ambil perannya ada di partai politik, it's okay, atau lu mau ambil di luar sistem juga it's okay. Cuman yang penting adalah ini harus diintegrasi gitu. Ini harus nyambung.

Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) Yudi Purnomo (tengah) dan Ketua BEM UI 2019 Manik Marganamahendra (kiri) di gedung KPK, Jakarta, Jumat (30/8/2019). (Antara/Benardy Ferdiansyah)

Ini otokritik juga ke gerakan-gerakan mahasiswa. Gue sendiri akhirnya merasakan bahwa banyak hal-hal yang akhirnya kita lakukan itu cenderung reaktif sama isu. Karena selama dididik dari turun temurun gitu, gerakan mahasiswa ini tuh selalu identiknya gerakan moral, intelektual, tapi kita lupa kalau mahasiswa itu juga punya kepentingan.

Kepentingan kita sebagai entitas mahasiswa atau sebagai orang yang mengenyam pendidikan tinggi. Kita punya kepentingan politik.

Jadi maksud gue adalah harusnya kita juga sadar bahwa setiap gerakan orang-orang yang berada di luar sistem itu gerakan politik, yang suka gak suka lu sedang menuntut adanya perubahan gitu. 

Apa yang menurut gue perlu sama-sama kita lakukan adalah mengambil momentum bahwa orang-orang muda ini seharusnya udah lagi gak jadi gimik, dengan cara mereka bisa berkonsolidasi antara orang yang ada di dalam sistem maupun di luar. Jadi kita gak anti lagi sama yang namanya gerakan politik. Ya memang selama ini gerakan politik. Semua demonstrasi di jalanan itu gerakan politik.

Ada yang bilang, semalaikat apa pun orang di luar, ketika masuk sistem jadi iblis. Kita lihat juga aktivis-aktivis 98 yang kemudian dekat dengan istana. Waktu mengubah orang, politik semakin mengubahnya lagi. Menurut lu itu gimana?

Kalau ngomongnya objektif ya, gue gak tau nih lu juga setuju atau gak, somehow kalimat idealis gitu ya yang kita selalu pakai. Misalnya, oh ini aktivis nih, dia idealis.

Pertanyaannya adalah, apakah yang kita sebut sebagai idealis itu harus selalu ada di luar sistem?

Kita ambil contoh, Bang Budiman Sudjatmiko. Suka enggak suka, atau misalnya lu mau bilang apalah tentang Budiman segala macam, tapi yang bawa isu tentang desa kan Budiman juga. Di tahun 2014 Undang-Undang Desa akhirnya bisa gol segala macem. Apakah kita nggak bisa bilang dia idealis ketika dia bawa perjuangannya tentang masalah orang-orang desa? Itu bawa kepentingan juga kan?

Jadi maksud gue, kadang kadar idealisme atau kadar idealis itu juga kita harus punya indikator yang objektif untuk bilang gitu. Kalo misalnya Budiman emang tugas dia jadi DPR, ya tugas dia kan bikin undang-undang, udah bukan lagi tentang demonstrasi. 

Oke misalnya Budiman, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Adian Napitupulu, dan siapa pun itu, katakanlah banyak juga sumbangsihnya, tapi ada harga yang harus dibayar kan? Lu gimana menghadapi itu ketika idealisme lu harus dikompromikan saat masuk politik?

Pertama jelas kita harus mengukur kadar komprominya itu apa. Maksud gue adalah yang penting dari berpolitik itu kita tahu tarik ulur garis kompromi ini. Ketika garis kompromi ini udah melewati batas, ya sudah, tarik, dan mungkin harus sekeras-kerasnya untuk beradu argumen.

Apa hal-hal prinsipil yang gak bisa lu kompromikan? 

Pertama, jelas tentang masalah korupsi. Kemudian yang kedua, isu-isu kesehatan. Ketika dana-dananya ini dari industri-industri yang mematikan, jelas itu gue gak bisa kompromi lagi, termasuk di antaranya yang paling kuat yang selama ini gue diskusikan itu industri rokok ya.

Jadi itu adalah garis-garis batas yang yang gak akan gue langkahin, semacam kode etik sendiri gitu.

Di luar itu lu masih bisa tarik ulur? Misalnya masalah komunikasi politik dan harus bermuka dua?

Ya itu menurut gue juga bentuk kompromi yang harus dilakukan ya, mau gak mau. 

Berarti udah ngalamin?

Udahlah, jangankan ngomongin sampe ke tingkat caleg, waktu gue masih jadi Ketua BEM pun kan berpolitik juga, akhirnya belajar gimana kompromi sama orang yang mungkin dulu gak dekat-dekat banget atau kayak gimana gitu.

Ngomongin soal korupsi, ini kan salah satunya gara-gara ongkos politik yang mahal. Kenapa lu masih nekat terjun? Dana dari mana?

Makanya perlu di-highlight adalah tadi gue bilang gak ngajak semua anak muda buat masuk parpol juga. Karena realistis aja, siapa yang bisa biayain lu gitu kan. Ongkos politik ini secara sistem belum cukup ramah buat orang-orang muda ini, di sisi lain gimana caranya untuk ngakalin? 

Pertama ya jelas biayanya pasti dari biaya sendiri, ngeluarin tabungan sendiri. Di sisi lain, yang menurut gue juga bisa dipakai adalah melakukan skema crowdfunding, mengumpulkan biaya-biaya politik dari orang-orang yang memang kita kenal, intinya orang-orang yang punya visi yang sama dengan kita. 

Itu yang lu lakukan sekarang?

Ya ini yang sedang diproses sekarang gitu.

Tapi lu gak takut punya utang politik? 

Gue yakin banyak orang yang baik juga sih. Ada juga kok orang-orang yang akhirnya tulus dan mereka melakukan sistem seperti ini ibaratnya gak ada transaksi politik. Intinya adalah mereka titipkan uangnya, lu kerjanya yang benar. 

Manik Marganamahendra saat menjabat Ketua BEM UI. (ANTARA/Feru Lantara)

Ini kayaknya seolah-olah jauh dari sistem politik kita. Tapi kalau kita lihat di US misalnya, Alexandria Ocasio-Cortez, dia pakai sistem yang sama. Dia kumpulin orang-orang untuk akhirnya bisa saling bantu, akhirnya kan ada sense of belonging nih. 

Orang-orang yang kemudian melakukan sumbangan tadi ke si caleg-caleg ini, atau misalnya kalau di US tadi ya senatornya, mereka bisa terus pantau, bisa terus bertanya gitu. Nah selama ini di sini kurang sense of belonging. Coba gue tanya, lu tau siapa anggota DPRD di dapil lu? Gak tau kan. Jadi gak ada sense of belonging yang dibuat antara si wakil rakyat sama kita.

Gue pernah ngobrol sama salah satu mantan ketua parpol, dia bilang gara-gara ongkos politik mahal dan partai harus terus jalan, jadinya dia nagih setoran ke kader-kader yang lolos di legislatif buat biaya operasional partai. Lu udah menemuin realitas begitu?

Belum, karena kan belum masuk ya, jadi belum ada. Dan untungnya juga waktu gue masuk gak ada biaya mahar gitu. Itu yang gue takutkan juga ya, mau gak mau harus bersiap, dalam tanda kutip ya. 

Harapannya gue ada di partai yang memang bisa memberikan ruang untuk kita bisa lebih eksplor tentang masalah politik ini, gak sampe hal-hal yang tadi lu bilang itu. Kalau lu tanya gue soal itu, gue belum menghadapi, gimana gue bisa jawab? Cuman menurut gue akhirnya ini jadi hal yang penting untuk sama-sama diawasi sih. 

Lu punya kekhawatiran gak sih kalo misalnya dimanfaatkan sebagai anak muda untuk dulang suara? Terus kemudian nanti gak dipakai?

Kekhawatiran ini pasti ada ya. Tapi justru orang-orang muda sekarang ini seharusnya sadar bahwa itu bisa jadi kekuatan politik lu gitu. Dengan partai yang ngerasa bahwa, oh kayaknya gue harus ngelibatin orang muda nih, itu daya tawar lu.

Akhirnya kita bisa bilang, ya gue muda, siapa tau gue bisa representasiin temen-temen satu angkatan gue, satu generasi gue. Tapi ketika gue ada di partai lu, lu harus bawa kepentingan gue.

Jadi menurut gue yang lebih penting adalah ketika kita tau seberapa besar kekuatan kita dan kita memanfaatkan itu untuk membawa isu-isu yang sebenernya penting buat kita bicarakan. Jangan sampai, yang tadi kita takutin ya, parpol atau elit-elit politik akhirnya pakai orang-orang muda ini sebagai gimik.

Di Perindo banyak gak sih caleg muda?

Perindo ini salah satu yang menurut gue orang mudanya itu enggak cuman sebatas keterwakilan gitu ya atau nyari suara. Di Jakarta sendiri itu kayaknya hampir 80% caleg di bawah 40 tahun. 

Kalau alumni UI sendiri solid gak dukung teman-teman yang maju?

Kemarin sih gue juga bersyukurnya ada satu acara ya dari alumni UI untuk ngumpulin caleg-caleg mudanya. Dikumpulin, diskusi, sharing, segala macem. Ini harapannya sebenarnya ada tinjak lanjut lagi sih. Karena menurut gue satu hal yang penting untuk caleg muda ini tuh bukan hanya panggung politiknya, tapi dana kampanyenya.

Jadi gue sangat berharap justru alumni-alumni juga bisa memberikan semacam crowdfunding, jangan-jangan ini bisa difasilitasi juga sama ikatan-ikatan alumni untuk mempertemukan orang-orang yang baik, yang punya visi untuk mendorong kader yang layak dan punya kapasitas.

Karena dari tadi lu nyinggung soal kesehatan, sebenernya apa yang paling lu konsen dari isu kesehatan?

Rokok, itu salah satunya.

Apa yang mau lu perjuangin soal kebijakan rokok ini?

Banyak orang yang akhirnya menganggap bahwa ya udah ini kan pilihan personal gitu ya. Masalah rokok ini tuh sebenernya bukan tentang masalah si perokoknya, tapi lebih di hulu lagi, yaitu industrinya yang bahkan udah jadi gurita. Lu tahu lah siapa orang terkaya di Indonesia sekarang.

Jadi apa yang menurut gue penting adalah masalah ini ternyata dampak kesehatannya itu bahkan bisa sampai ke stunting. Gara-gara pertama, dampak langsungnya paparan asap rokok ke ibu yang sedang mengandung atau bahkan balita itu bisa punya dampak sampai ke perkembangan otaknya. Dan akhirnya kalau ngomongin otak, pemikiran, daya pikir, segala macam itu ngaruhnya ke stunting tadi.

Jadi ada risetnya dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), bahwa anak yang tumbuh dan lahir dari keluarga yang perokok akut, dia punya potensi lebih tinggi untuk stunting dibandingkan dengan anak yang lahir dari keluarga yang tidak merokok sama sekali. 

Terus masalah dampak tidak langsungnya adalah konversi dari belanja rokok sama belanja-belanja sayur, daging, telur buat protein. Orang-orang selalu bilang, enggak lah, masyarakat kita mah ngerti. Tapi risetnya enggak kayak gitu. PKJS UI tuh nyebutin di Lombok itu, perempuan yang jadi korban-korbannya adalah dia enggak bisa beliin anaknya susu formula, karena uangnya udah dipakai habis. Maksudnya suaminya akhirnya bahkan sampai ngutang buat beli rokok, bukan buat beli beras, protein, segala macem.

Bertugas sebagai Abang None Jakarta Timur 2022, Manik menjadi MC bersama Lulu di Pembukaan Pagelaran Kesenian Reguler di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan. (Instagram @marganamahendra)

Masalahnya tuh gak sederhana kayak, oh gue boleh ngerokok sendirian, gitu. Enggak. Tapi gimana kita juga bisa ngomongin tentang masalah gizi, masalah layanan kesehatan. Masak iya orang lebih gampang beli rokok sebatang daripada kita ngomongin tentang masalah layanan kesehatan.

Jadi masalah gue tuh bukan sama perokoknya, bagi gue orang-orang yang merokok juga adalah korban. Tapi gimana kita bisa menghalau masalah ini sampai dengan ke hulunya. Gimana sistem-sistem perbaikan kesehatannya. 

Jadi kalau lolos nanti lu bakal konsen di isu kesehatan ya?

Kesehatan, lingkungan, dan advokasi-advokasi. Orang-orang mungkin juga harus tau, gue itu bukan maju eksekutif, jadi jelas ranah-ranah kebijakannya pasti bakalan berbeda gitu, lebih ke arah pengawasan, terus gimana melihat RAPBD-nya, juga raperda-raperda yang mungkin bisa didorong. 

Ini gue juga lagi riset sekarang, termasuk di antaranya tadi, kalau ngomongin kesehatan dan juga lingkungan tuh ada polusi udara. Kalau enggak salah Jakarta belum punya yang sampai ke Perda ya, masih keputusan gubernur. Buat urusan penindakan polusi udara ini baru di tataran keputusan gubernur.

Ketika lu deklarasi maju caleg, banyak yang sinis nyinggung masa lalu aktivis lu. Sempat tertekan gak mental lu?

Ya gimana lagi, gue juga manusia ya, pasti ngerasa kayak, bukan sedihlah, ibaratnya kayak merefleksikan diri kembali sih.

Kalau ujaran kebencian yang diterima secara langsung ada gak?

Ya itu pernah. Tapi kalau caleg ini gak pernah sampai ada yang mau ngebunuh sih. Justru waktu pas aksi 2019 ada. 

Siapa tokoh politik yang jadi inspirasi dan role model lu?

Ada dualah minimal-minimalnya. Di Indonesia gue pengen banget punya pemikiran-pemikiran kayak Gus Dur yang bicara tentang kebhinekaan, keberagaman. Tapi kalau bicara tentang memperjuangkan isu, gue melihat Alexandria Ocasio-Cortez tadi, senator AS yang gue yakin dia punya komitmen dan konsistensi yang kuat untuk membela masalah-masalah masyarakatnya.

Terakhir, kalau lu gagal lolos DPRD, apa langkah lu ke depannya?

Yang jelas gue gak berhenti berpolitik. Niat berpolitik tuh bahkan udah dari jauh-jauh hari, bukan cuma sebatas ketika gue ada di BEM gitu. Jadi gue udah punya pandangan politik itu udah lumayan lama. 

Intinya gue punya cita-cita politik yang menurut gue perlu dilanjutkan, berkarir di NGO atau analis kebijakan itu pasti ya. Gue akan memperdalam juga bidang keilmuan gue, entah itu di Perindo sebagai partai politik ataupun belajar di luar, mungkin menunaikan S2 tapi sambil berpolitik.

Rekomendasi