Kasus Meiliana, Hakim Jangan Tunduk Pada Kaum Intoleran

| 16 Aug 2018 15:20
Kasus Meiliana, Hakim Jangan Tunduk Pada Kaum Intoleran
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Meiliana harus menghadapi kenyataan dituntut hukuman pidana selama 1,5 tahun setelah sidang pembacaan tuntutan atas tindak penistaan agama yang dituduhkan padanya. 

Mulanya, wanita berusia 44 tahun yang tinggal di Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Tanjung Balai mengeluh suara azan yang dikumandangkan melalui pengeras suara dirasa terlalu bising. Ia meminta kepada takmir untuk mengecilkan volume pengeras suara tersebut.

Sayangnya, karena diprovokasi oleh berita palsu dan ujaran kebencian bernada SARA, ratusan warga melakukan pelemparan dan perusakan ke rumah Meiliana. Tak cuma itu, massa juga membakar satu vihara, lima klenteng, tiga mobil, dan tiga motor.

SETARA menilai kalau tuntutan jaksa seperti menegaskan aparat ternyata tunduk pada sentimen mayoritas dan tekanan kelompok intoleran.

"Secara kuantitatif, tuntutan JPU juga berlebihan kalau disandingkan dengan pidana perusakan, pencurian, dan provokasi dalam konteks kerusuhan Tanjung Balai yang sudah divonis pada Januari 2018. Delapan terpidana, dituntut rata-rata empat bulan kemudian divonis ringan antara 1 bulan 11 hari hingga 2 bulan 18 hari dikurangi masa tahanan," kata Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos dalam keterangan tertulisnya, Kamis (16/8/2018).

SETARA juga mengamati kalau proses hukum Meiliana berjalan di luar koridor rule of law dan fair trail. Lembaga ini menilai kalau proses hukum penodaan agama ini dipicu karena sentimen SARA. Bahkan, pasca kerusuhan yang menimbulkan kerugian materil ini, atas desakan kelompok intoleran dan ormas, MUI Sumatera Utara akhirnya mengeluarkan fatwa yang menyebut kalau Meiliana menistakan agama. Persis seperti pola kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama, kalau kata SETARA.

"Sama dengan pola kasus Ahok dan sebagian besar kasus penodaan agama, kombinasi tekananan massa, kelompok intoleran, dan fatwa MUI kemudian menjadi determinan bagi penetepannya sebagai tersangka oleh kepolisian kemudian ditahan sejak Mei 2018," ungkap Bonar.

Bonar juga menyebut, kalau dalam proses peradilan ada juga tekanan psikologis terhadap hakim, jaksa, terdakwa, serta penasehat hukumnya dengan kehadiran sejumlah ormas seperti Forum Umat Islam (FUI) dan kelompok yang dinilai SETARA adalah kelompok intoleran.

"Hakim harus mencegah menguatnya fenomena supremasi intoleransi dalam kasus penodaan agama, di mana intoleransi diekspresikan dalam tekanan kerumunan massa cenderung supreme atas proses hukum," ucap Bonar.

"Pengadilan tidak boleh tunduk pada tekanan kelompok intoleran," imbuhnya.

Dalam kesempatan ini, SETARA juga meminta agar reformasi hukum penodaan harus dilakukan. Apalagi hal ini sudah ada dalam amanat Mahkamah Konstitusi, revisi atas UU No 1/PNPS/1945 sehingga harus segera dilakukan oleh pemerintah dan DPR dengan orientasi pada pemberantasan ujaran kebencian (hate speech) dan pemidanaan hasutan (incritment) serta pidana kebencian (hate crime).

"Dalam hiruk pikuk Pemilu dan Pilpres harusnya tidak mengalihkan perhatian aparat penegak hukum dan pemangku otoritas legislasi normal atas praktik panjang ketidakadilan dalam kasus penodaan agama," pintanya.

Apalagi SETARA menilai kalau elastisitas dan absurditas konstruksi hukum penodaan agama dan ketidakadilan penerapannya telah mengirim secara tidak adil banyak kelompok minoritas ke dalam jeruji besi sebagai tahanan nurani. Apalagi sudah ada 116 kasus penodaan agama yang dicatat oleh lembaga ini hingga akhir 2017 dan hampir seluruhnya bermasalah.

 

Rekomendasi