"Mengutip wakil presiden dalam rapat koordinasi 2017, mengatakan masalah rokok berkepentingan dengan isi pimpinan. Jadi sangat tepat sekali hal ini diangkat para tim sukses," katanya, dalam diskusi bertema 'Menjelang Debat III, Menakar Visi Keseharan', di D'Consulate, Menteng, Jakarta, Sabtu (9/3/2019).
"Ini terkait visi, kalau enggak ada visi, dari pimpinan siapapun menterinya akan mengalami apa yang disampaikan Bu Nafsiah. Ke atas mentok, ke bawah enggak bisa, ke samping ribut, jadi kita bertarung melawan diri sendiri," lanjutnya.
Sitti menjelaskan, pentingnya para timses calon presiden mengangkat isu ini. Sebab, katanya, terdapat korelasi antara stunting atau tumbuh kembang anak yang terpapar rokok dengan kemiskinan.
Menurut Sitti, anak dalam kelompok perokok memiliki tinggi badan dan berat badan yang ringan, ketimbang yang tidak.
"Kelompok perokok berat badannya lebih ringan antara 1-2 kilogram, tumbuh tinggi badannya lebih rendah 0,34 sentimeter pada satu generasi," tuturnya.
Selain itu, Sitti mengaku, mengkhawatirkan angka perokok usia muda bergeser semakin lebih muda. Apalagi, katanya, masyarakat kini menilai berfoto dengan pose merokok di media sosial merupakan sebuah 'lucu-lucuan'.
"Itu sebuah kesedihan luar biasa. Kalau ada masyarakat yang bersedih, menangis ketika sebuah hutang, maka harusnya bangsa ini harus menangis ketika anak mati karena tidak hadirnya sebuah negara," jelasnya.
Di samping itu, Sitti menyebutkan, adanya perokok termuda berusia 9 bulan. Bayi tersebut, katanya, menjadi perokok karena melihat banyak puntung rokok di sekitar lingkungannya.
"Ada orang iseng disulut api, dia jadi biasa. Dari puntung-puntung yang terjual. Ini perokok tahun 1993 usia 11-20 hanya 1,79 persen. 2014 meningkat 7,73 persen, itu kalau dibandingkan dengan keberpihakan orangtua, penting belanja rokok dibandingkan belanja karbohidrat itu lebih berat belanja rokok," ucapnya.
Sitti menilai, para kaum Ibu takut menegur suaminya yang merokok, karena tidak memegang kendali pembelanjaan yang berasal dari suaminya. Menurut dia, di situ perlunya kehadiran negara.
"Kehadiran negara kalau meihat posisi Indonesia dari sisi ASEAN dibandingkan Brunei, Kamboja, Myamar, Filipin, Singapura, Thailand dan Vietnam, Indonesia itu terhadap iklan rokok, promosi, sponsor kemudian CSR semua enggak ada," tutupnya.