Mengenal Social Entrepreneurship

| 13 Mar 2018 06:11
Mengenal <i>Social Entrepreneurship</i>
Ilustrasi (pixabay)
Jakarta, era.id - Lanskap persebaran startup di Indonesia dinilai cukup luas. Anak muda yang menjadi martir perkembangan ekonomi digital berhasil melihat potensi yang terbuka itu. 

Akan tetapi, tidak selamanya potensi tersebut berkaitan dengan ruang profit. Startup dalam bidang kewirausahaan sosial alias social entrepreneurship dinilai sebagai bentuk transformasi para pelaku usaha dalam memahami kondisi sosial yang ada. 

Kondisi sosial yang ditekankan ini tentunya berafilisasi dengan karakter para pelaku startup untuk mampu menjawab berbagai permasalahan bangsa, khususnya Indonesia.

UnLtd Indonesia dalam artikelnya berjudul Mengulik Selera Investor untuk Wirausaha Sosial menyatakan social entrepreneurship mempunyai potensi besar untuk tumbuh di Indonesia. 

Startup lokal seperti Limakilo yang berbasis pengelolaan penjualan pertanian; Kitabisa sebagai platform patungan berbasis kepedulian sosial; hingga eFishery sebagai platform yang membantu nelayan untuk memberi pakan kepada ikan-ikannya secara otomatis. 

Tak ayal, berkembangnya startup bersifat kewirausahaan sosial di Indonesia diikuti oleh ketertarikan investor untuk dampak sosial yang positif.

Kitabisa.com, tren milenial dalam aktivitas sosial

CEO Kitabisa.com, Alfatih Timur berbagi pandangan kepada era.id mengenai startup miliknya dan dampak sosial yang didapat dalam menjalani perusahaan tersebut. 

Menurut Alfatih, eksistensi startup di bidang sosial memang belum banyak dirasakan atau dilirik orang. Tetapi, Kitabisa.com punya data, partisipasi masyarakat terkait bantuan donasi yang menggunakan startup miliknya cukup besar.

"Pada 2016, Kitabisa mampu mengumpulkan total domasi Rp61 miliar, bahkan pada 2017, kenaikan total donasi mampu diluar dugaan, yakni 193 miliar rupiah naik 230 persen dibanding 2016," ujarnya melalui surat elektronik.

Dari data yang mereka punya, tren peningkatan positif dari waktu ke waktu, serta kepeduliaan orang membantu sesama lewat media jaringan dunia maya ini terus menerus tersebar dan terdistribusi dengan pelan tapi meyakinkan ke semua lini.

"Perkara tren dan momentum biar waktu yang menjawab. Yang jelas, inovasi demi inovasi terus kami lakukan setiap harinya," ujar Alfatih.

Wirausaha sosial, kunci kepedulian milenial

Sosiolog Universitas Malang, Abdul Kodir, melihat kewirausahaan sosial adalah sebuah akumulasi besar para pelaku usaha untuk mampu keluar dari belenggu industri besar dengan ide yang sangat kapitalistik.

"Anak muda yang menjalankan social entrepreneurship berusaha melepaskan diri dari kapital-kapital besar dan tidak selalu bergantung pada kekuatan modal, tetapi mereka mempunyai wawasan ekonomi besar, terutama dalam pemberdayaan masyarakat," ujarnya.

Bagi Abdul, kondisi tersebut merupakan dominasi anak muda yang mulai mengambil peluang ekonomi yang tidak hanya bersifat profit semata, tetapi juga mampu memberikan dampak ke masyarakat.

"Social entrepreneurship membuat anak muda tidak gampang dibodohin, bonus demografi menjadi peluang besar, inovasi berkembang, segala bentuk modal dapat berdaya," ujarnya.

Dunia telah belajar bahwa socialpreneurship mampu membuat perubahan. Nobel perdamaian pada 2006 jatuh kepada sosok yang memperjuangkan nilai-nilai sosial dalam kewirausahaan, Muhammad Yunus. Warga Negara Bangladesh itu meraih nobel tersebut setelah menciptakan gagasan micro finance, sistem yang memberikan banyak pinjaman kecil bagi warga kurang mampu. 

Nur Firdaus, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam jurnalnya yang berjudul Pengentasan Kemiskinan Melalui Pendekatan Kewirausahaan Sosial menyatakan kemiskinan merupakan permasalahan mendasar dalam pembangunan ekonomi, terutama pada negara berkembang seperti Indonesia.

"Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya karena ketidakberdayaan dalam mengakses atau menguasai sumber-sumber ekonomi," kata Nur.

Fenomena munculnya social entrepreneurship, menurut Nur, dipicu penilaian terhadap negara yang tidak mampu menjawab permasalahan sosial.

"Ketidakmampuan negara dan elemen politik dalam menyelesaikan permasalahan sosial karena implementasi kebijakan yang seringkali tidak efektif," ujarnya. 

Lahirnya anak-anak muda dan gagasan perubahan melalui social entrepreneurship memperlihatkan bahwa mereka 'berbahaya dan mempunyai daya ledak tinggi.' 

 

Rekomendasi