Rocky, dalam program televisi itu memaparkan panjang lebar argumentasi terkait pernyataannya, termasuk alasan kenapa dirinya menyebut kitab suci sebagai fiksi. Yakni, karena masih banyaknya hal di dalam kitab suci yang belum terjadi hingga saat ini.
Sejak awal, Rocky tampak sadar, pendapatnya itu dapat memancing delik alias diperkarakan secara hukum. "Saya tahu akibatnya, karena itu saya terangkan, supaya enggak dicari-cari jadi delik. Saya mengerti problem itu dari awal itu," kata Rocky.
Dalam ilmu filsafat yang Rocky kuasai, fiksi memiliki konotasi yang positif. Fiksi adalah energi untuk mengaktifkan imajinasi. Namun, Rocky juga maklum kenapa pendapatnya bisa sangat menghebohkan. Menurut Rocky, masih banyak orang telah salah memaknai kata fiksi.
Fiksi banyak dimaknai sama dengan kata fiktif. Padahal, dua kata itu sama sekali berbeda. Fiksi adalah kata sifat yang dapat diartikan sebagai imajinasi, keyakinan, atau pun harapan. Sedang fiktif adalah kata kerja yang berarti mengada-ada.
Rocky boleh saja mengungkapkan pemahamannya soal makna fiksi dalam sudut pandang keilmuan filsafat. Tapi, ia pun tak bisa menghindari kenyataan bahwa pernyataannya telah telanjur memancing kontroversi.
Lalu, bagaimana makna fiksi jika dikaji dari sudut pandang bahasa?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata fiksi berarti cerita rekaan atau pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Pemaknaan secara bahasa ini juga lah yang kemudian dijadikan landasan Cyber Indonesia untuk memperkarakan Rocky Gerung secara hukum atas dugaan penistaan agama.
Pengamat bahasa Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Krisanjaya berpandangan, frasa kitab suci tak bisa dimaknai sebagai fiksi, karena muatan makna di dalam kitab suci adalah ajaran, keimanan, dan keteguhan umat. Selain itu, pandangan Rocky yang memaknai fiksi sebagai unsur pemantik imajinasi pun dibantah oleh Krisnanjaya.
Menurut Krisnanjaya, cara Rocky memaknai sebuah bahasa adalah salah. Katanya, cara yang tepat buat menganalisis makna suatu bentuk bahasa adalah dengan menggunakan muatan makna secara keseluruhan, bukan mengambil unsur atau komponen maknanya saja.
"Pemahaman makna tiap kata pada konteks hubungan semantik haruslah memadai, sehingga pengujian hubungan semantiknya menjadi tuntas. Kepahaman seorang penutur terhadap kata fiksi, imajinasi, ataupun frasa kitab suci mengarahkannya kepada interaksi makna dalam penggunaannya," jelas Krisnanjaya.
Komentar lain terkait polemik ini datang dari Ivan Lanin, Wikipediawan mashyur pecinta bahasa Indonesia. Menurutnya, pendapat Rocky yang menyebut perbedaan rasa antara kata fiksi dan kata fiktif adalah keliru.
Kata Lanin, tak ada perbedaan rasa antara kata fiksi dan fiktif. "Fiksi itu fiktif. Nomina fiksi dan adjektiva fiktif dapat menghibur atau menipu. Fiksi: (1) prosa khayalan; (2) pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Fiktif: bersifat fiksi," tulisnya dalam akun Twitter @ivanlanin.
Masih di media sosial, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD turut menanggapi pandangan keilmuan Rocky. Bagi Mahfud, sangat keliru jika memaknai kitab suci sebagai sebuah fiksi. Menurutnya, fiksi adalah produk imajinasi, sedang kitab suci adalah turunan dari wahyu yang disampaikan Tuhan.
"Itu pendapat Rocky Gerung, silakan saja. Tapi bagi saya kitab suci bukan fiksi, jauh bedanya. Fiksi itu produk angan-angan atau khayalan manusia. Sedang kitab suci adalah wahyu dan pesan Tuhan. Saya meyakini, kitab suci adalah wahyu Tuhan yang ditanamkan di hati dan dipatrikan di otak orang yang beriman," tulisnya dalam akun Twitter @mohmahfudmd.