ERA.id - Pemerintahan konservatif Bharatiya Janata Party (BJP) di negara bagian Uttar Pradesh berupaya mengekang warga dan rumah-rumah sakit yang menyuarakan kelangkaan suplai oksigen atau tempat tidur pasien, demikian dilaporkan oleh media di India.
Selama akhir pekan lalu, Menteri Utama Yogi Adityanath, seorang rahib Hindu yang terkenal suka melontarkan ujaran kebencian, mengancam akan menerapkan Undang-Undang Keamanan Nasional (NSA) dan Undang-Undang Gangster terhadap siapapun yang hendak menyebarkan ketakutan dan kepanikan selama pandemi.
Ia juga menginstruksikan penyitaan barang-barang milik "elemen anti sosial" yang menyebarkan "rumor dan propaganda di media sosial". Tindakan ini dulunya hanya diterapkan pada kaum kriminal, namun makin sering terjadi di bawah pemerintahan Adityanath, sebut Al Jazeera.
"Tak ada kelangkaan tempat tidur pasien, oksigen, atau obat-obatan di negara bagian ini," kata Adityanath dalam sebuah konferensi pers, Senin, (26/4/2021), dikutip Al Jazeera.
Sang pejabat tertinggi Uttar Pradesh itu mengklaim telah mendirikan 32 pabrik pengisian oksigen dan menyiagakan "72 tanker oksigen" yang menyalurkan oksigen ke rumah-rumah sakit di semua distrik yang ada di negara bagiannya, seperti disampaikan kantor berita ANI.
“I speak to the kids who are pleading to save their parents…I wish I could do something.”@SonuSood speaks to @BeckyCNN about India’s devastating Covid crisis, as he steps up to help people find medical aid – helping with tens of thousands of pleas for oxygen. pic.twitter.com/Cl4X4xQD5q
— Connect the World (@CNNConnect) April 26, 2021
Namun, seperti diberitakan Al Jazeera, di sejumlah kota di Uttar Pradesh, rumah-rumah sakit dan krematorium dibanjiri pasien dan jenazah, sementara pengelola sistem kesehatan mengakui mereka kehabisan bahan oksigen cair. Uttar Pradesh sendiri mendapati rata-rata 30 ribu kasus infeksi Covid-19 baru setiap hari.
Pada Senin, Adityanath, yang saat ini juga tengah terinfeksi Covid-19, dicecar atas respons pemerintahannya terhadap wabah Covid-19.
"Memalukan sekali bahwa pemerintahan yang tahu seberapa berbahayanya gelombang kedua malah tidak pernah mempersiapkan segalanya sejak dini," sebut Pengadilan Tinggi Allahabad.
Di saat yang sama kritik juga terarah pada pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi yang dianggap menyasar orang-orang yang menyuarakan langkanya oksigen dan tempat tidur pasien di India.
Sabtu lalu, pemerintahan India meminta platform media sosial Twitter untuk menghapus puluhan cuitan yang mengritisi respons wabah Covid-19 di India, padahal kondisi pandemi di negara itu tengah melejit melampaui rekor global.
"Pengekangan terhadap informasi dan kritik atas pemerintah tidak hanya berbahaya bagi India tapi juga menjadi risiko bagi orang-orang di seluruh dunia," sebut Mirza Saaib Beg, pengacara yang beberapa cuitannya ikut terkena sensor.
India kini mencatat total 17,64 juta kasus infeksi virus corona, meski sejumlah pakar meyakini angka sebenarnya lebih besar dari itu.
Pemerintah berencana menggelar program vaksinasi massal mulai 1 Mei, namun, berdasarkan laporan Al Jazeera, jumlah kebutuhan vaksin di India yang populasinya berjumlah 1,3 miliar jiwa itu kini jauh melebihi pasokan yang tersedia.