Profil Romo Franz Magnis Suseno dan Fakta-Fakta Menarik Lainnya

| 26 Dec 2022 19:32
Profil Romo Franz Magnis Suseno dan Fakta-Fakta Menarik Lainnya
Fransz Magnis Suseno (Twitter)

ERA.id - Kemunculan Romo Magnis Suseno dalam persidangan kasus pembunuhan Brigadir J baru-baru ini tentu menarik banyak pihak dan membuat banyak orang penasaran dengan sosoknya. Artikel ini akan membahas rekam jejak dan profil Romo Franz Magnis Suseno lengkap.

Budayawan sekaligus guru besar filsafat moral Prof. Romo Frans Magnis Suseno (kanan) dihadirkan dalam sidang terdakwa Bharada E pada Senin 26 Desember. (Rizky A-VOI)

Beberapa data dan biografi mengenai Pater Magnis Suseno SJ, berikut ini ditulis oleh Heinz Schütte, seorang ilmuwan sosial Jerman atas saran Franz Xaver Augustin, direktur regional Goethe Institutes di Asia Tenggara.

Profil Romo Franz Magnis Suseno

Magnis Suseno dan para pejabat negara (Twitter)

  1. Pelarian Perang Dunia II

Franz Magnis-Suseno lahir pada tahun 1936 di Silesia (dulu Jerman, sekarang Polandia) sebagai Franz Count von Magnis, putra tertua dari keluarga bangsawan. Seluruh keluarga harus melarikan diri dari Silesia pada akhir Perang Dunia II dan menetap di Jerman Barat dalam keadaan yang agak sulit.

  1. Menjadi Yesuit di Umur 10 Tahun

Franz bersekolah di sekolah asrama Yesuit dan memutuskan untuk menjadi seorang Yesuit pada usia 10 tahun. Setelah novisiat dan studi filsafat, ia memutuskan pada tahun 1961 untuk bergabung dengan misi Yesuit di Indonesia.

Menjadi Yesuit adalah cinta pada pandangan pertama Magnis Suseno. Dia mulai dengan belajar bahasa Jawa dan membenamkan dirinya dalam budaya Jawa. Ia belajar bahasa Indonesia kemudian ketika ia menghabiskan beberapa waktu di Jakarta.

  1. Belajar Teologi di Jogja dan Mulai Membaptis

Dari tahun 1964 hingga 1968 ia belajar teologi di Yogyakarta, dimana sebagian besar teman sekelasnya adalah orang Jawa. Selama masa itu peristiwa 1965 di Indonesia dengan carut marut militer dan pembantaian.

Meskipun Magnis terkejut dengan pembunuhan ratusan ribu orang yang diduga komunis, ia merasa bahwa sebagai orang non-Indonesia, ia tidak dapat berbuat banyak. Namun, ia memperhatikan bahwa di Jawa Tengah banyak orang yang masuk agama Kristen, karena gereja mulai merawat para tahanan politik dan keluarga mereka sejak tahun 1966.

Magnis membaptis banyak orang dan mengajar katekisasi di penjara. Pada bulan Juli 1967 Magnis ditahbiskan sebagai imam di Semarang dan pada bulan Agustus ia mengadakan khotbah pertamanya dalam bahasa Jawa di Yogyakarta.

  1. Menjadi Pengajar STF Driyarkara

Setelah menyelesaikan studi teologinya, Magnis dikirim ke Jakarta untuk mengorganisir Universitas Filsafat Jesuit yang baru, Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, yang dinamai menurut nama filsuf dan Jesuit Nicolaus Driyarkara (1913-1967).

Sejak awal tujuan berdirinya STF Driyarkara adalah untuk menjadi wadah dialog antara berbagai agama dan pandangan dunia. Pater Magnis menghabiskan waktu tiga tahun untuk mengorganisir perguruan tinggi baru dan mengajar.

  1. Menyelesaikan Sekolah Doktoral di Jerman

Kemudian pada tahun 1971 Magnis pergi ke Universitas Munich untuk mempersiapkan gelar doktornya. Sejak studi sebelumnya ia telah terpesona oleh Marxisme dan menulis tesis doktoralnya tentang "Presuposisi Normatif dalam pemikiran Marx muda", demistifikasi Marx.

Disertasi Magnis diterbitkan di Jerman pada tahun 1975, tetapi tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sekembalinya ke Indonesia, Pater Magnis dianggap sebagai spesialis Marxisme, dimana hal tersebut sejak peristiwa 1965 merupakan hal yang tabu.

Tetapi pada tahun 1975, sebuah lembaga yang dekat dengan pemerintah dan militer, CSIS (Center for Strategic and International Studies), memintanya untuk menulis artikel tentang Marxisme dan Komunisme untuk jurnal mereka, Prisma. Artikel itu diterbitkan hanya dalam bahasa Inggris, karena dianggap terlalu kontroversial untuk edisi Indonesia.

Artikel Magnis kemudian diintegrasikan ke dalam mata kuliah Magnis tentang "Filsafat Sosial di Jerman Abad ke-19". Salinannya beredar di antara para mahasiswa dan beberapa orang dijatuhi hukuman penjara karena memilikinya.

Kemudian pada tahun 2001 saat kaum Muslim radikal membakar buku-bukunya tentang Marxisme, Pater Magnis mengutuk hal ini di TV dan di surat kabar dan menyamakannya dengan pembakaran buku-buku oleh Nazi pada tahun 1933.

Magnis menganggap pembakaran buku adalah hal bodoh, karena para siswa membakar buku-buku yang sebenarnya kritis terhadap Marx. Mereka (menurut Magnis) tidak bisa membedakan antara orang kiri dan orang yang menganalisis ide-ide kiri.

Selain profil romo Franz Magnis Suseno, ikuti artikel-artikel menarik lainnya juga ya. Kalo kamu ingin tahu informasi menarik lainnya, jangan ketinggalan pantau terus kabar terupdate dari ERA dan follow semua akun sosial medianya! Bikin Paham, Bikin Nyaman

Rekomendasi