Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPP PDIP Idham Samawi mengamini keislaman sang Proklamator yang terbalut dalam pakaian negarawan. Bung Karno dinilai sebagai sosok pemimpin yang mengemban prinsip kebangsaan, sekaligus mengedepankan nilai-nilai Islam.
"Ketika bicara kebangsaan, prinsip yang ditawarkan Bung Karno di depan BPUPKI itu di dalam Islam namanya ukhuwah watoniah, persudaraan dalam kehidupan kebangsaan. Bung Karno sudah menyebut konsep Ketuhanan Yang Maha Esa pada pidato 1 juni 1945," kata Idham, dalam sebuah diskusi politik di DPP Taruna Merah Putih, Jakarta, Kamis (15/3/2018).
Sikap nasionalis sekaligus religius Presiden pertama Indonesia itu juga terlihat saat dia memimpin Panitia Sembilan--panitia kecil saat sidang pertama BPUPKI-yang berupaya menengahi polemik rumusan sila pertama Pancasila sebelum disahkan menjadi dasar negara.
Mulanya sila pertama berbunyi "Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya". Namun, perwakilan Panitia Sembilan yang berasal dari Indonesia Timur, A. A. Maramis, menolak kalimat tersebut dengan alasan tidak dapat diterima oleh warga Indonesia yang non-Islam.
Rumusan naskah Pancasila pertama. (Istimewa)
Untuk menengahi itu, Bung Karno bersama Panitia Sembilan akhirnya memutuskan untuk menghilangkan kalimat "Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", dan menetapkan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dasar negara.
"Yang mengetok palu siapa? Ya Soekarno, karena dia yang memimpin sidang," ujar Idham.
Terpisah, Sejarawan dari Universitas Indonesia (UI), Anhar Gonggong, menyebut pada dasarnya Bung Karno tidak membuat jarak antara konsep nasionalisme dengan keislaman. Namun demikian, banyak pihak yang keliru dengan memandang seolah-olah Bung Karno memisahkan nilai-nilai nasionalisme dengan Islam. Padahal, upaya-upaya Bung Karno melalui keputusan kenegaraan yang diambilnya, tak mencerminkan demikian.
Salah satunya, Anhar menyebut, Bung Karno menjadi orang pertama yang menolak bunyi dekrit pertama Piagam Jakarta yang mengatakan, “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.”
"Bung Karno adalah orang pertama yang menolak Piagam Jakarta. Bung Karno selalu mencari cara supaya persatuan kekuatannya jangan sampai pecah," kata Anhar.
Piagam Jakarta. (Istimewa)
Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, Asep Irfan Mujahid, mengatakan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 menginspirasi nilai-nilai keislaman. Hal itu tercermin dari bagaimana cara Bung Karno yang mencoba menampilkan konsep Tuhan Yang Maha Esa di atas segala-galanya, termasuk di balik latar belakang bangsa Indonesia yang beragam suku, agama, adat, dan lain-lain.
"Islam tidak dijadikan satu-satunya rujukan dan acuan untuk menyusun konsep berbangsa dan bernegara waktu itu. Apa yang dilakukan Bung Karno benar-benar mencerminkan islami sejati," kata Asep.
Bahkan, kata Asep, cara Bung Karno berjuang itu diadaptasi oleh NU untuk meneruskan perjuangan dalam hal agama dan kehidupan berbangsa. Sebab, semangat dan ideologi nasionalisme yang dimiliki Bung Karno adalah satu tarikan napas dengan nasionalismenya Islam.
"Bangsa ini memiliki tokoh yang besar, tokoh yang di samping memiliki semangat nilai-nilai nasionalisme juga pembelaannya sangat konkret terhadap nilai-nilai Islam," tegas Asep.