Kisah Kasim Arifin, Mahasiswa IPB yang KKN Selama 15 Tahun di Desa Waimital Maluku

| 11 May 2022 19:25
Kisah Kasim Arifin, Mahasiswa IPB yang KKN Selama 15 Tahun di Desa Waimital Maluku
Kasim Arifin (Hutan Tersisa)

ERA.id - Kisah Muhammad Kasim Arifin yang menjalani kuliah kerja nyata (KKN) selama 15 tahun di Desa Waimital, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, membuka mata setiap orang, bahwa pengabdian kepada masyarakat tidak terkurung ruang dan waktu.

Kasim Arifin tiba di Waimital, Maluku, pada tahun 1965. Beberapa bulan di Waimital, alih-alih memperkenalkan sistem Panca Usaha Tani, Kasim malah semakin jauh terlibat dengan kegiatan para petani.

Mahasiswa Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) itu sebelumnya tinggal di asrama kampus Ekasari sejak 1958 hingga 1965. Pada 1964, Kasim Arifin dan beberapa tim menerapkan sistem Panca Usaha Tani di Desa Tunggak Jati dan Tanjung Pura, Karawang, yang digagas oleh kampus IPB. 

Sistem Panca Usaha Tani itu berhasil, sehingga beberapa mahasiswa IPB dalam rangka "Pengerahan Tenaga Mahasiswa" (kini KKN) disebar ke seluruh Indonesia untuk menerapkan sistem tersebut. 

Kasim membantu petani transmigran miskin. Ia keluar masuk hutan untuk mencari sumber air dan membuat irigasi, dan membantu meningkatkan hasil tanaman dan ternak. Karena sudah asyik bergiat dengan masyarakat, Kasim lupa kembali ke Bogor dan menyelesaikan skripsinya. 

Menurut Afrizal Akmal, dalam hutan-tersisa.org, "Kasim menolong masyarakat desa untuk menjadi mandiri. Bersama-sama ia membuka jalan desa, membangun sawah-sawah baru, membuat irigasi, dan semua itu dilakukannya tanpa bantuan satu sen pun dari pemerintah. Masyarakat setempat sangat menghargai kesederhanaan, kedermawanan dan tutur katanya yang lembut. Oleh masyarakat setempat, ia disapa sebagai Antua, sebuah sebutan bagi orang yang dihormati di Maluku."

Pengabdian Kasim tanpa batas tersebut membuahkan hasil. Desa Waimital yang sebelumnya tidak memiliki harapan, menjadi desa paling maju se-Kabupaten Seram Bagian Barat.

Orang tuanya sudah risau karena Kasim tidak pulang-pulang ke kampung halaman. Sehingga, orang tuanya meminta Kasim pulang, tetapi ia tidak mengindahkan. Bahkan, rektor IPB Prof. DR. Ir. Andi Hakim Nasution pun tidak pedulikan. 

Ketika mendapatkan penghargaan Kalpataru (Tangkapan Layar Kanal YouTube Himpunan Alumni IPB )

Saleh Widodo, utusan khusus Rektor IPB sekaligus sahabatnya sendiri, yang berhasil membujuk Kasim kembali ke Bogor untuk menerima gelar insinyur pertanian istimewa.

Kasim menjadi sarjana bukan karena berhasil mempertahankan skripsi, melainkan ia telah mengabdi pada masyarakat selama 15 tahun tanpa pamrih dan gaji. 

Nama Ir. Kasim Arifin diabadikan untuk nama sebuah jalan di Kecamatan Kairatu dan juga menjadi nama Gugus Depan Gerakan Pramuka. Atas pengabdiannya, Kasim mendapat penghargaan Kalpataru dari pemerintah Soeharto pada 1982.

Sosok yang lahir di Langsa, Aceh, 18 April 1938 ini akhirnya dilantik menjadi sarjana. Setelah itu, Kasim Arifin kembali kampung halamannya dan menikah pada tanggal 27 Oktober 1984 dengan Syamsiah Ali, seorang guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Langsa. Mereka memiliki 3 orang anak. Kasim menjadi dosen di Universitas Syiah Kuala, Aceh. 

Kasim Arifin berasal dari Langsa, Provinsi Aceh. Ayahnya bernama M. Arifin dan ibunya Nyak Mi. Kasim Arifin memiliki 12 orang adik. Di Kota Padang, Kasim Arifin bersekolah. Di pagi hari, Kasim masuk di SMA Umum dan Sekolah Pertanian di sore hari. Muhammad Kasim Arifin meninggal dunia di Banda Aceh, 26 Juli 2006, pukul 10:30 WIB. 

Kisah Kasim ini diabadikan oleh dua sastrawan Indonesia, yaitu Taufik Ismail dan Hanna Rambe. Taufik Ismail menulis puisi berjudul “Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau Seram, yang Pada Hari ini Pulang ke Almamaternya”, sedangkan Hanna Rambe menulis buku berjudul Seorang Lelaki di Waimital (Sinar Harapan, 1983).

Kasim Arifin saat wisuda (Tangkapan layar Kanal YouTube Himpunan Alumni IPB)
Rekomendasi