Alasan Hoaks Bakal Makin Gila dalam Beberapa Waktu ke Depan

| 16 Aug 2018 05:47
Alasan Hoaks Bakal Makin Gila dalam Beberapa Waktu ke Depan
Ilustrasi (era.id)
Jakarta, era.id - Semua sepakat, persatuan adalah lagu lama, yang begitu populer, mendatangkan banyak uang dan ketenaran. Sayang memang. Padahal, buat kami, persatuan harusnya adalah sebuah lagu patah hati, yang belum tentu disukai, namun pasti diresapi maknanya.

Intinya, sebelum terlambat, kita harus sadar betul bahwa kita tengah berada dalam masa di mana persatuan bangsa tengah dipertaruhkan. Sayang, batu pemantik perpecahan bukan orang-orang dari luar bangsa, melainkan saudara sebangsa sendiri. Dan penyebaran hoaks, jadi senjata utama pemecahnya.

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), sebuah lembaga nirlaba yang berfokus dalam pengawasan arus informasi palsu punya data yang menyebut bahwa tingkat kemasifan sebaran hoaks makin meningkat jelang pelaksanaan Pemilu 2019. Brengseknya, isu yang diangkat para penyebar hoaks adalah isu SARA, bahan bakar paling sensitif untuk memicu permusuhan di negara majemuk macam Indonesia tercinta ini.

Presidium Mafindo, Anita Wahid menjelaskan, masifnya sebaran hoaks jelang pemilu terjadi karena para pemilik kepentingan politik yang terlibat dalam perang demokratis --atau perang yang seharusnya demokratis-- ini masih melihat hoaks sebagai cara paling efektif untuk mengubah perilaku massa.

Para penyebar hoaks sadar betul, watak masyarakat Indonesia yang masih minim literasi media jadi sasaran paling asyik untuk disasar. Ya, lihat saja grup WhatsApp-mu. Berapa banyak informasi enggak jelas masuk setiap harinya?

"Memolitisasi SARA ditambahkan dengan berita bohong merupakan cara yang paling mudah bagi parpol untuk mengumpulkan partisipasi publik terkhusus publik yang punya sentimen SARA tinggi," kata Anita dalam sebuah diskusi yang kami hadiri beberapa hari lalu.

Celakanya, itu tadi. Hoaks berisikan isu SARA jelas berbeda dengan hoaks bertemakan hal lain. Dampak yang ditimbulkan dari hoaks SARA ini enggak cuma menyebalkan, tapi juga menghancurkan. Dan bukan ujuk-ujuk memang para penyebar hoaks menjadikan isu SARA sebagai bahan hoaks. Mafindo punya penelitiannya.

Berdasar penelitian yang dilakukan Mafindo, alasan para penyebar hoaks menjadikan isu SARA --terutama yang berkaitan dengan agama-- sebagai bahan kebohongan adalah karena keberadaan celah untuk mengaitkan hoaks yang mereka lemparkan dengan ajaran-ajaran agama tertentu. Brengsek banget kan? Memelintir sebuah ajaran agama untuk memecah belah kelompok-kelompok masyarakat.

Dan politik, suka enggak suka memang pemicu segala situasi buruk ini. Mafindo mengamati, perpecahan bangsa bermula pada Pemilu 2014 lalu. Saat itu, anak bangsa terpecah dalam kecondongan-kecondongan politik tertentu, yang sayangnya, entah disengaja atau bukan, terus terpelihara hingga kini. 

Diskusi di Kominfo (FOTO: Leo/era.id)

Memerangi hoaks

Politikus Partai Demokrat, Jansen Sitindoan yang turut hadir dalam diskusi menyerukan perang terhadap hoaks. Menurutnya, pemerintah harus mengambil langkah konkret, tegas, dan segera untuk memerangi sebaran hoaks ini.

Kalau berkaca pada pengamatan Mafindo soal pemilu, hoaks, dan perpecahan, rasanya apa yang diminta Jansen jadi sangat beralasan.

Momen Pemilu 2019 yang makin dekat ini bakal jadi musimnya penyebaran hoaks. Jansen sih bilang, pihaknya punya data yang menunjukkan banyaknya partai politik yang menggunakan jasa bisnis penyedia hoaks untuk memenangi kontestasi pemilu.

Kata Jansen, partai politik sudah sadar betul, tren telah berubah. Cara-cara lama semacam politik uang dan mahar-mahar pengikat suara rakyat sudah enggak berpengaruh besar terhadap raihan elektoral.

Lagi-lagi, kami sependapat. Sebab, bisnis hoaks nyatanya betul ada. Lihat saja kisah kelompok produsen dan pengelola kabar palsu, Saracen yang sepak terjangnya terbongkar pada 2017 lalu. Bukti bahwa hoaks sudah jadi lahan bisnis yang dikelola secara profesional jelas sangat mengkhawatirkan.

Bayangkan, untuk satu paket konten ujaran kebencian, Saracen mematok tarif hingga Rp72 juta. Rinciannya, Rp15 juta dialokasikan untuk pembuatan situs, Rp10 juta sebagai jatah buat ketua kelompok Saracen, Jasriadi, dan Rp45 juta per bulan sebagai biaya perekrutan buzzer.

Akhirnya, jadi sangat penting untuk membekali diri dengan kesadaran penuh, bahwa potensi sebaran hoaks akan makin tinggi dalam waktu-waktu ke depan. Seenggaknya, dengan menyadari hal tersebut, mudah-mudahan kita jadi lebih wapada, enggak sembarangan mencerna apalagi menyebar informasi yang enggak jelas.

Sebab, think before sharing enggak boleh lagi sekadar ungkapan.

Rekomendasi