Arsul juga meminta sebaiknya Partai Gerindra maupun Badan Pemenangan Nasional (BPN) berbicara berdasarkan data, bukan hanya omongan yang tidak berdasarkan fakta.
"Mari beradu data saja. Yah kalau beradu data harus dengan komparasi, berapa katakan lah jumlah utang. Apakah mau diukur tahunan atau periode?" katanya, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (8/2/2019).
Baca Juga : Sama Dengan Rwanda, Prabowo: Bayi Lahir Saja Utang Rp9 Juta
Dia menjelaskan, jika ingin dikomparasi mengenai utang luar negeri pemerintah, tidak terlepas dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai perbandingannya.
"Ya pada saat zaman pemerintahan sebelumnya. Memang mau tidak mau komparasi itu harus selalu dengan Pak SBY. Karena Pak SBY itu 10 tahun, bukan kemudian kok menjelekan Pak SBY, tidak. Tapi memang komparasinya harus dengan itu, karena kalau dengan zamannya Pak Habibie, Gusdur, dengan Bu Mega kan lima tahun (jabatan) enggak penuh, kan sulit," tuturnya.
Salah satu utang luar negeri digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur. (Foto: setkab.go.id)
Menurut Arsul, yang namanya utang luar negeri pada masa pemerintahan SBY juga tidak semuanya digunakan untuk konsumtif atau untuk pembangunan infrastruktur. Katanya, pasti juga ada yang digunakan untuk mencicil utang yang jatuh tempo dan untuk biaya belanja pegawai.
"Persoalannya adalah 02 selama ini hanya berhenti pada jargon besarnya saja. Misalnya utang ternyata tidak dipergunakan untuk infrastruktur, tapi tidak juga dirilis datanya, berapa yang digunakan untuk infrastruktur, berapa yang digunakan untuk membayar kembali utang, berapa yang digunakan untuk subsidi," jelasnya.
Agar kalian paham, Ketua DPP Partai Gerindra Heri Gunawan meminta pemerintahan Joko widodo (Jokowi) menghentikan klaim utang luar negeri pemerintah selama ini digunakan untuk membiayai kegiatan produktif. Salah satunya, klaim pembangunan infrastruktur.
Untuk diketahui pernyataan Gerindra ini, merujuk pada kritikan ekonom Faizal Basri pada pemerintah. Faizal menyebut, utang luar negeri paling banyak digunakan untuk belanja pegawai, yakni sebesar Rp336 triliun.
Kemudian, belanja barang sebesar Rp340 triliun menempati posisi kedua pengeluaran pemerintah. Sementara infrastruktur, yang masuk dalam kategori capital justru berada di urutan ketiga yakni sebesar Rp204 triliun.
Terkait data Faizal Basri, Arsul tidak menampik hal tersebut. Menurut dia, dana utang luar negeri pemerintah ini juga memang ada yang dialokasikan untuk memcicil utang yang jatuh tempo maupun gaji pegawai.
Baca Juga : Akhirnya Ada Alasan Kenapa Zaman Soeharto Lebih Asyik
"Ya memang diakui ada yang untuk mencicil utang, untuk gaji, tetapi kan melihat itu menurut saya harus secara keseluruhan. Kan gini sekali lagi harus dibandingkan dengan pemerintahan Pak SBY, bagaimana penggunaan utang luar negeri itu saja. Kita kan harus adil," ucapnya.
Menurut Arsul, Faizal Basri sebagai ekonom memiliki kelebihan yakni objektif dalam menilai. Dia menjelaskan, dalam pemerintahan tidak bisa hanya yang dilihat bagian negatifnya saja.
"Bang Faizal ini sisi negarif dan positinya dimuat semua, jadi kan kita berimbang. Hanya kalau yang negatif kami di TKN minta juga dibandingkan zaman Pak SBY seperti apa. Semangatnya tentu adalah bukan berarti terbaik, tentu hal yang perlu dikoreksi ya harus terbuka juga pemerintahan ini," terangnya.