Pak Pejabat, Masa Pakai Program Jokowi untuk Kampanye?

| 08 Mar 2019 14:01
Pak Pejabat, Masa Pakai Program Jokowi untuk Kampanye?
Sejumlah anggota Bawaslu (Diah/era.id)
Jakarta, era.id - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengimbau menteri dan pejabat negara maupun daerah pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk bersikap netral menjelang kampanye. Khususnya, pencatutan program pemerintah untuk bahan kampanye pemilu.

"Melihat yang terjadi belakangan ini, kepada pemerintah pusat dan daerah sampai kementerian pejabat negara dan pemerintah untuk menghindari adanya penyalahgunaan program pemerintah untuk dimanfaatkan kampanye pemilu," ujar Anggota Bawaslu Rahmat Bagja di Kantor Bawaslu RI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat Jumat (8/3/2019).

Bagja menyebutkan salah satu kasus, yaitu Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir, saat mengajak tidak golput, mengisyaratkan untuk mencoblos salah satu pasangan calon. Bagja sih enggak menyebut nama Natsir, tapi kita sudah paham lah kalau melihat dari berita yang beredar.

"Contohnya, coblos dua kali tidak sah, satu kali dicoblos sah. Itu kan hal yang tidak perlu itu tolong untuk dikurangi atau ditiadakan. Fokus pada kerja masing-masing," kata Bagja.

Sebagai pengingat, saat itu Nasir berkata di hadapan mahasiswa untuk tidak mencoblos dua kali, karena dianggap tidak sah. Makanya dia meminta untuk mencoblos satu kali. Hal itu banyak ditafsirkan sebagai ajakan mencoblos Jokowi yang bernomor urut 01.

Nah, Bagja menjelaskan sebetulnya mencoblos dua kali itu sah. Asalkan mencoblos partai dan nomor pasangan calon. "Jangan sampai ada informasi yang tidak diperlukan oleh pejabat yg ada di jajaran pemerintah. Kami harapkan tidak diulangi lagi," ucap Bagja.

Trik semacam itu sih hampir dipastikan tidak dikenakan dugaan pelanggaran kampanye, karena bahasanya mengandung banyak tafsir. Tapi, kata Bagja, secara etik, hampir bisa kena, lho.

"Secara etik hampir kena itu, setelah itu pelanggaran, sebentar lagi masuk pelanggaran. Bisa diterjemahkan lain. Bisa diproses. Tapi kita periksa kalau unsur kampanyenya tidak kena ada visi-misi, program kerja dan itu tidak kena itu bisa tidak jadi," jelas Bagja.

"Kalau mau kampanye dengan di tim kampanye sekalian, tim kampanye di kampanye. Bukan pada saat beliau sedang menjabat pejabat negara jadi jangan sampai acara kenegaraan itu digunakan sebagai ajang kampanye itu yang tidak boleh," lanjutnya.

Penanganan Pelanggaran dugaan kampanye ASN

Bawaslu melakukan rekapitulasi terhadap jumlah pelanggaran netralitas ASN. Hingga 1 Maret 2019, sebanyak 165 pelanggaran dari 15 Provinsi yang masuk ke Bawaslu RI. 

"Provinsi tersebut adalah Bali, Bangka Belitung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, Riau, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sumatera Selatan," kata Anggota Bawaslu Ratna Dewi.

Jumlah pelanggaran ASN secara berturut-turut dari provinsi tersebut terjadi di Jawa Tengah 43 pelanggaran, Sulawesi Selatan 26 pelanggaran, Sulawesi Tenggara 19 pelanggaran, Jawa Barat 17 pelanggaran, Banten 16 pelanggaran, Bali delapan pelanggaran, Sulawesi Barat tujuh pelanggaran.

NTB enam pelanggaran, Riau dan Kalimantan Timur masing-masing lima pelanggaran, Bangka Belitung tiga pelanggaran, Kepulauan Riau dua pelanggaran, Sumatera Selatan dua pelanggaran, serta Maluku satu pelanggaran.

Dari bentuk pelanggaraannya dapat dikelompokkan sebagai berikut

1. Mencalonkan diri sebagai Calon Legislatif namun belum mengundurkan diri sebagai ASN 

(2 kasus)

2. Melakukan tindakan yang menguntungkan peserta/calon (27 kasus)

3. Melakukan tindakan menguntungkan peserta/calon di media sosial (40 kasus)

4. Hadir dalam kampanye (23 kasus)

5. Menggunakan atribut partai/peserta Pemilu dan/atau membagikan alat peraga 

kampanye (16 kasus)

6. Keterlibatan ASN sebagai tim kampanye peserta Pemilu (1satu kasus).

7. Menghadiri kegiatan peserta pemilu (non kampanye), (10 kasus)

8. Menjadi anggota partai poltiik (14 kasus).

Jabatan dari ASN yang melakukan pelanggaran diatas dilakukan oleh:

1. Aparatur Sipil Negara, 8 orang

2. Perangkat desa, 2 orang

3. Ketua/Anggota BPD, 10 orang

4. Kepala Daerah, 8 orang

5. Camat, 8 orang

6. Satpol PP, 2 orang

7. Kepala Dinas, 1 orang

8. Sekretaris Kecamatan, 1 orang

9. Sekretaris Desa, 1 orang

Rekomendasi