Membaca Langkah Gerindra dan PKS usai Pemilu 2019

| 04 Jul 2019 16:42
 Membaca Langkah Gerindra dan PKS usai Pemilu 2019
Prabowo-Sandiaga bersama elite partai politiknya (Mery/era.id)
Jakarta, era.id - Perhelatan Pemilu 2019 sudah selesai. KPU telah menetapkan presiden dan wakil presiden terpilih--sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Sementara lawannya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang didukung Koalisi Indonesia Adil Makmur, bubar pada 21 Juni. Partai politik yang tergabung di dalamnya; Gerindra, PKS, PAN, Demokrat dan Berkarya dibebaskan menentukan arah politiknya lima tahun ke depan.

Sejauh ini, baru PKS dan Gerindra yang mengisyarakat sikap politiknya. Kepada era.id, Sekretaris Bidang Polhukam PKS Suhud Aliyudin memastikan berada di luar pemerintahan. Karena katanya, menjadi pihak yang berada di luar pemerintah adalah keinginan konstituennya.

"Aspirasi lebih banyak yang menginginkan PKS berada di luar pemerinthanan. Jika berada di luar pemerinatahan tentu PKS akan menjadi kekuatan penyeimbang yang kritis dan konstruktif," kata Suhud Aliyudin saat dihubungi, di Jakarta, Kamis (4/7/2019).

PKS tak asal ngecap soal oposisi. Mereka sudah punya peluru untuk diperjuangkan nanti. Peluru-peluru ini adalah janji politik yang mereka bawa selama Pemilu 2019.

"Program (kerja) kami fokus pada janji-janji kampanye PKS, di antaranya penghapusan pajak bagi rakyat yang bepenghasilan di bawah Rp8 juta, penghapusan pajak sepeda motor cc rendah, pemberlakuan SIM seumur hidup, dan RUU Perlindungan tokoh agama dan ulama serta simbol-simbol agama," tuturnya.

Meski begitu, Suhud mengatakan, sikap resmi partainya setelah pilpres ini akan diputuskan pada sidang Majelis Syuro PKS yang merupakan lembaga tertinggi pengambil kebijakan partai. Dengan putusan tersebut, maka perintah untuk partai menjadi tegak lurus.

Hampir sama dengan PKS, Gerindra juga demikian. Mau berada di luar pemerintah. Namun, sikap ini menunggu keputusan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Saat ini, Prabowo masih terus menyerap aspirasi seluruh kader untuk menentukan arah politik lima tahun ke depan.

Anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra, Andre Rosiade mengatakan, apapun yang diputuskan Prabowo Subianto bakal diikuti semua kader. Dia juga menegaskan, seluruh kader tegak lurus terhadap keputusan itu.

"Jika tetap berada di luar pemerintahan, partai kami akan fokus menjalankan program Indonesia Adil Makmur yang menjadi visi-misi Pak Prabowo saat maju menjadi calon presiden pada Pilpres 2019," kata Andre.

Pada masa Pemilu 2019, Koalisi Adil Makmur memiliki sejumlah program kerja yang tertuang dalam visi-misi dan terfokus kepada isu ekonomi. Di dalam visi-misi juga terdapat pilar ekonomi yang mengusung 36 program aksi.

Adapun ke-5 fokus utama program kerja nasional yaitu:

1. Mewujudkan ekonomi yang mengutamakan rakyat, ekonomi yang adil, ekonomi yang memakmurkan semua orang Indonesia, dan ekonomi yang melestarikan lingkungan Indonesia.

2. Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial.

3. Memastikan keadilan hukum dan menjalankan demokrasi yang berkualitas.

4. Menjadikan Indonesia rumah yang aman, yang nyaman bagi seluruh rakyat Indonesia. Keamanan nasional dan kedaulatan NKRI adalah prasyarat untuk pembangunan, kemajuan, dan kemakmuran.

5. Penguatan karakter dan kepribadian bangsa.

Ilustrasi Ilham/era.id

Kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin ingin punya oposisi untuk pemerintahannya pada periode 2019-2024. Tapi, oposisi yang diinginkan adalah yang konstruktif, bukan asal menantang. Tujuannya agar penyelenggaraaan negara jadi sehat. Partai Gerindra dan PKS diharapkan bisa menjalankan tugas tersebut.

"Gerindra dan PKS sebagai koalisi utama Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu lebih terhormat dan baik bagi sehatnya demokrasi kalau ada di luar dan memimpin koalisi pengawas atau koalisi oposisi yang konstruktif. Bukan asal-asal saja," kata Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate kepada wartawan di Jakarta, Senin (1/7/2019). Partai NasDem adalah satu dari sepuluh pendukung koalisi Jokowi-Ma'ruf.

Sementara itu, mengutip John Locke dalam Two Treaties of Government, kekuasaan negara terdiri dari: fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi federatif. 

Gagasan yang kemudian disempurnakan Montesquieu itu mengklasifikasikan kekuasaan negara ke dalam tiga cabang, yakni, kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang (UU), kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan UU, dan kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. 

Hal itu sejalan dengan penegakan prinsip kedaulatan rakyat yang dipahami sebagai prinsip checks and balances. Istilah tersebut merupakan prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antarcabang kekuasaan.    

Dalam konteks kekuasaan Negara, Presiden wajib memperhatikan betul suara DPR dalam hal fungsi legislasi, fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dan fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karenanya perlu ada mekanisme hubungan yang lebih jelas antara lembaga Kepresidenan (eksekutif) dan DPR (legislatif) meupun lembaga Negara lainnya. 

Agar kekuasaan tetap seimbang, dalam alam demokrasi dikenal dengan yang namanya oposisi. Secara umum, oposisi bisa diartikan sebagai partai penentang di dewan perwakilan yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijakan politik dari golongan yang berkuasa. Partai yang menjadi oposisi sudah pasti mereka yang kalah dalam  Pilpres. 

Dalam praktiknya, salah satu cara untuk menyeimbangkan dan mengawasi kekuasaan bisa lewat DPR. Oleh karena itu, agar fungsi kontrol tetap ada, peran oposisi bisa dibilang tidak boleh hilang. 

Rekomendasi