Pasalnya, masa kerja DPR untuk periode 2014-2019 akan segera berakhir dan rapat paripurna terakhir akan mereka lakukan pada 30 September 2019 nanti. "Ya tidak mungkin dong, tidak mungkin lagi (disah-kan di periode ini)," kata Ketua Panja Marwan Dasopang usai rapat di Gedung DPR, Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Rabu (25/9).
Marwan berujar, di sisa waktu itu, Panitia Kerja RUU P-KS bersama pemerintah menyepakati dibentuknya Tim Perumus (Timus) baru untuk periode mendatang. Nantinya, Tim Perumus akan bertugas membahas kembali seluruh daftar inventarisasi masalah dan seluruh pasal dalam draf RUU.
Terlebih, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPA) dan DPR belum sepakat dalam beberapa hal termasuk perdebatan judul RUU yang akan digunakan. Padahal, prosesnya sudah berjalan selama dua tahun. Dengan demikian, jalan pembahasan RUU P-KS masih panjang.
Meski begitu, Marwan mengklaim, pembahasan sudah menyepakati soal pencegahan, perlindungan dan rehabilitasi dalam rapat-rapat yang digelar sebelumnya. Namun, yang masih perlu disesuaikan adalah soal pemidanaan, karena harus mengacu dengan KUHP dan KUHAP.
"Tinggal pidana nanti kita bandingkan dengan KUHP tinggal pemidanaan. Itu semacam KUHAPnya, ditambah pemberatan. Misal rampas hartanya untuk rehabilitasi," tuturnya.
Dalam pembahasan ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih tetap menyatakan ketidaksetujuannya. Namun, menurut Marwan, sikap PKS ini masih bisa dilunakkan dengan lobi politik.
"Nanti lobi-lobi politik. itu kan biasa, kalau sudah mentok tidak ada kesepahaman, kembali lagi lobi politik. Biasa itu dalam pembuatan undang-undang, saya percaya tidak ada yang tidak mungkin dilakukan kalau ada lobi politik," ucap dia.
Di samping itu dari pihak pemerintah, Deputi perlindungan Hak Perempuan KemenPPA Venetia Danes menyatakan, ada sembilan jenis kekerasan seksual yang paling sering dibahas dalam RUU KUHP adalah pemerkosaan, dan pencabulan.
"Sebab itu kami berharap tujuh perkara yang tidak diatur dalam RKUHP akan merupakan lex specialis yang diatur di RUU PKS ini. Karena memang itu nyata ada kasus-kasusnya yang tidak bisa terselesaikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada," ujar dia.
Maka itu, Vennetia menegaskan akan melakukan sinkronisasi antara RUU PKS dengan RUU KUHP. Dengan tertutupnya kemungkinan pengesahan di RUU PKS maka DPR dapat melanjutkan pekerjaan pembahasan RUU tersebut pada periode mendatang.
Seperti diketahui, publik mendesak pengesahaan RUU PKS ini segara dilakukan. Salah satu pihak yang mendesak adalah sekelompok orang yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan (JPP).
Mereka menilai, RUU ini perlu karena masih banyaknya kasus kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi di Indonesia. Itu diketahui dari catatan tahunan Komnas Perempuan sejak 2016 hingga 2018, yaitu 16.943 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual
Penolakan juga datang daru Gerakan Umat Lintas Iman Se-Jawa Barat (Geulis). Mereka menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Bandung, Jawa Barat, Rabu (25/9). Mereka mendesak agar DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).