Menurut data yang dihimpun Action for Happiness selama periode 2015-2017, lima negara teratas yang menempati peringkat paling bahagia di dunia adalah Finlandia, Norwegia, Denmark, Islandia, dan Swiss. Sementara lima terbawah diisi Yaman, Tanzania, Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, dan Burundi.
Lalu, di mana posisi Indonesia? Negara kita ini ternyata hanya mampu menempati peringkat ke-96. Jauh di bawah tiga negara ASEAN lainnya seperti Singapura (34), Malaysia (35), dan Filipina (71) dan hanya unggul dari Laos (110) dan Kamboja (120). Metode perhitungan untuk menentukan peringkat ini menggunakan mekanisme cantrill ladder dengan skala 0-1.
Ada beberapa indikator yang menjadi penentu peringkat kebahagiaan setiap negara. Di antaranya:
• GDP per kapita (berkaitan dengan aspek ekonomi)
• Angka Harapan Hidup (berkaitan dengan aspek kesehatan)
• Dukungan sosial (berkaitan dengan aspek kebersamaan)
• Kebebasan menentukan pilihan (berkaitan dengan aspek kebebasan)
• Kedermawanan (berkaitan dengan aspek Kebersamaan)
• Indeks persepsi korupsi (berkaitan dengan aspek pemerintahan yang bersih; kejujuran)
Masih ada variabel lain yang juga memengaruhi peringkat ini. Pertama, Positive affect atau bagaimana seseorang menikmati kebahagiaannya. Apakah dengan tertawa, menikmati liburan atau lainnya. Yang kedua adalah dystopia, atau pandangan pesimistis masa depan.
Dalam berpolitik, tentunya juga dibutuhkan kebahagiaan. Caranya, dengan menjalankan politik yang mengayomi sisi-sisi kebahagiaan manusia yang holistik (gaya berpikir psikologi). Dikutip dari buku Kalau Mau Bahagia Jangan Jadi Politisi karya Arvan Pradiyansah, politik akan berada dalam posisi senang ketika melihat lawan politik susah, dan susah ketika melihat lawan politik senang.
Intinya, kebahagiaan itu diputuskan diri sendiri.