ERA.id - Hanung Bramantyo sangat konsisten dan terbuka ketika membicaran kesetaraan gender lewat film. Dari film Ayat Ayat Cinta, Jomblo, Surga yang tak Dirindukan, Kartini, Bumi Manusia, Hanung selalu menyelipkan pesan kesetaraan gender. Dia yakin yang diperjuangkannya dalam film tidak akan sia-sia.
"Setiap saya memilih tema topik itu berdasarkan apa yang saya bisa, berdasarkan apa yang terjadi di lingkungan terdekat saya. Ketika saya memilih membuat Ayat-Ayat Cinta teman itu sangat dekat dengan saya. Tema tentang hubungan cinta laki-laki dan perempuan. Bagaimana mereka menikah kemudia poligami dan segala macam, itu adalah situasi yang dekat dengan saya, saya lahir dari dari keluarga yang sangat patriliner di lingkungan jawa, anak pertama, laki-laki, islam, dan memiliki adik-adik perempuan," ujar Hanung saat ditemui di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Selama ini, pemimpin selalu identik dengan kekuatan yang besar, menguasai, patronnya raja yang memiliki kuasa. Hanung mengaku pernah menjadikan perempuan sebagai objek, pemuas eksistensi.
"Cowok kalau nggak punya pacar rasanya akan hina dina, jomblo itu perlu perempuan untuk dijadikan sandaran objek untuk penguat identitas laki-laki. Semakin cowok punya pacar banyak semakin terlegitimasi bahwa cowok itu ganteng. Saya secara tidak langsung melukai perasaan ibu saya yang juga perempuan. Melukai adik-adik saya, sampai puncaknya melukai perasaan istri saya yang akhirnya terjadi perceraian. Itu semua merekonstruksi pemikiran saya seolah saya abai pada kesetaraan gender," kenangnya.
Kesetaraan gender, menurut Hanung, artinya perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama. Bukan pemimpin, menurutnya lelaki harus bisa menjadi pelindung perempuan. "Apa yang harus dilindungi laki-laki kepada perempuan? Pertama rahimnya, siklus mentruasi, dan dada perempuan. Ketiganya adalah sumber kehidupan manusia. Selain tiga itu, perempuan memiliki hak yang sama untuk belajar dan bekerja. Ini semua keluar dari mulut saya tidak tiba-tiba, karena banyak peristiwa yang terjadi di masa sebelumnya sangat mencederai hati perempuan ibu saya, adik-adik saya, mantan istri saya dulu, saya merasa harus memperbaiki itu semua," ujar Hanung.
"Film adalah katalisator saya, hasil renungan saya, saya keluarkan di film Ayat-Ayat Cinta, Surga yang Tak Dirindukan, sampai puncaknya adalah film Kartini. Kartini adalah kekaguman saya pada sosok perempuan, jadi sebetulnya pemilihan saya pada kesetaraan gender itu tidak serta merta tuntutan tren atau kurator dunia, tidak. Ini adalah proses yang muncul melalui pergulatan batin saya," tegas Hanung Bramantyo.