LBH Jakarta Beri 16 Catatan untuk Draf Awal RUU PKS, Salah Satunya Soal Dihapusnya Pidana Perbudakan Seksual

| 04 Sep 2021 16:02
LBH Jakarta Beri 16 Catatan untuk Draf Awal RUU PKS, Salah Satunya Soal Dihapusnya Pidana Perbudakan Seksual
Ilustrasi (Foto: Antara)

ERA.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta memberikan 16 catatan terhadap hasil draf awal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang diganti judul menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Draf awal tersebut disusun oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan dibahas dalam Rapat Pleno Baleg DPR RI pada Senin (30/9) lalu.

"Berdasarkan draf RUU PKS versi 30 Agustus 2021 yang diterbitkan oleh Baleg DPR RI, LBH Jakarta menyoroti ketentuan yang ‘hilang’ dan ‘kurang’ sehingga mengakibatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual menjadi jauh dari rasa keadilan dan kepastian hukum," tulis keterangan tertulis LBH Jakarta yang dikutip pada Sabtu (4/9/2021).

Berikut 16 poin catatan dari LBH Jakarta terkait draf RUU PKS:

Pertama, hilangnya asas dan tujuan pembentukan undang-undang membuat arah penghapusan kekerasan seksual menjadi tidak jelas.

Kedua, dihapusnya tindak pidana perbudakan seksual.

Ketiga, dihapusnya tindak pidana pemaksaan perkawinan.

Keempat, ketentuan mengenai pemaksaan aborsi dihilangkan.

Kelima, tidak adanya tindak pidana pemaksaan pelacuran.

Keenam, pengubahan nomenklatur tindak pidana perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual telah mereduksi pemaknaan atas tindakan perkosaan itu sendiri.

Ketujuh, tidak dimuatnya tindak pidana kekerasan berbasis gender online. Kedelapan, menyamakan unsur kekerasan seksual terhadap korban dewasa dan anak.

Kesembilan, tidak diaturnya pidana berupa tindakan bagi pelaku.

Kesepuluh, tidak adanya perlindungan khusus bagi korban dengan disabilitas.

Kesebelas, hilangnya pengaturan yang mewajibkan pemerintah dalam pemenuhan hak korban adalah bukti nyata negara lari dari tanggung jawab.

Kedua belas, tidak diaturnya hak-hak korban, keluarga korban, saksi dan ahli membuat mereka berada dalam posisi rentan ketika menjalani proses penegakan hukum.

Ketiga belas, tidak adanya kewajiban Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk melindungi dan memenuhi hak-hak korban. Keempat belas, arah upaya pencegahan tidak diatur secara komprehensif dalam draf sehingga tindakan preventif yang seharusnya menjadi perhatian serius menjadi terabaikan.

Kelima belas, tidak dimuatnya larangan aparat penegak hukum (APH) melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakkan hukum tindak kekerasan seksual sama halnya mengamini status quo yang tidak berpihak pada korban.

Keenam belas, menghilangkan peran paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual.

Rekomendasi