ERA.id - Sebuah foto KTP warga negara Indonesia atas nama Syamsul Hadi Anwar ditemukan oleh kelompok Houthi dalam penggerebekan di markas ISIS- al-Qaeda and Arabian Peninsula (AQAP) di Al Bayda, Republik Yaman. Masih ada kontak dari jejaring ISIS untuk merekrut anak-anak muda sebagai foreign terrorist fighters (FTF).
Foto KTP berlaminating atas nama Syamsul Hadi Anwar tersebut memakai format KTP lawas dan tercatat sudah tidak berlaku sejak 24 Desember 2013. Ia tercatat berdomisili di Perumahan Japan Raya, Jl. Basket Blok NN 16, kecamatan Sooko di Mojokerto, Jawa Tengah.
Syamsul Hadi Anwar, kel. Japan, Kec. Booko, Mojokerto, Indonesia
ID card already expired since 2013
Proof that Indonesian radicalist moslem join IS pic.twitter.com/KypNTcSiwK
— #Santo (@Santo_Yu) August 30, 2020
Namun, seperti dikonfirmasi oleh Koran Tempo, Kapolres Mojokerto, Ajun Komisaris Besar Doni Alexander mengatakan tidak ada warga dengan nama seperti di KTP yang tinggal di domisili tersebut. Sehingga, ia menyimpulkan ada indikasi pemalsuan identitas.
Sementara itu, nama Syamsul Hadi Anwar sudah diidentifikasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai identitas valid. Seperti dikatakan oleh Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar, Kepala BNPT, nama tersebut mengacu ke tokoh senior Negara Islam Irak dan Suriah asal Pesantren Ibnu Mas'ud di Desa Sukajaya, Tamansari, Bogor.
Boy berpendapat bahwa WNI bernama Syamsul itu mungkin belum lama tiba di Yaman. Ia ditengarai lebih dulu menetap di Suriah dan Irak selama empat tahun. Ia juga memiliki nama alias Abu Hatim Al Sundawy Al Indunissy dan dikenal dengan sebutan ustad Syamsul Hadi.
"Ketika ISIS mulai melemah di Irak dan Suriah, ada anggotanya yang pergi ke negara konflik lain untuk dijadikan medan baru bagi mereka," kata Boy.
Indonesia sendiri masih menjadi ladang perekrutan milisi ISIS, atau biasa disebut dengan istilah foreign terrorist fighters (FTF). Boy pun mengiyakan bahwa jejaring ISIS di Indonesia masih berupaya memasuki generasi anak muda untuk keperluan tersebut.
Keterlibatan warga Indonesia dalam aksi terorisme sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1980an, seperti dikatakan Noor Huda Ismail dari Yayasan Prasasti Perdamaian dalam laporan Koran Tempo. Di era tersebut warga Indonesia sudah bekerja di sejumlah negara konflik Timur Tengah dan membentuk kelompok diaspora.
Untuk area Yaman sendiri, keberadaan kelompok Houthi menjadi pemancing minat anak-anak muda.
"Houthi ini kan pemahamannya lebih ke arah Syiah dan mendapatkan dukungan Iran. Narasi melawan Syiah memudahkan perekrutan," kata Noor. Dalam hal ini ia meyakini bahwa undangan bertarung ke Yaman di-framing ke warga Indonesia sebagai pembelaan terhadap kelompok Muslim Sunni.
Arus Balik Simpatisan ISIS
Ditemukannya KTP seorang warga Indonesia simpatisan ISIS di luar basis Suriah dan Irak mensinyalir runtuhnya sistem kekalifahan yang didirikan Abu Musab al-Zarqawi pada tahun 1999 itu.
Pasca-meninggalnya Abu Bakr-al-Baghdadi pada bulan Oktober 2019 lalu, kekuatan kelompok milisi ini dikabarkan melemah. Beberapa milisi yang tertangkap kini dikurung di sejumlah tempat di Suriah.
Namun, tak sedikit pula milisi ISIS yang dideportasi ke negara asalnya, termasuk Indonesia. Pada awal Februari 2020 lalu, pemerintah Indonesia dikabarkan menolak merepatriasi 689 eks-kombatan ISIS.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa warga eks kombatan ISIS itu tak mengakui diri sebagai WNI. Ia mengaku mendapat data ratusan orang tersebut dari biro seperti CIA dan Palang Merah Internasional (ICRC). Namun, karena para eks-kombatan ISIS telah membakar paspor Indonesia, pemerintah pun tak punya keharusan untuk menampung mereka.
"Pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris. Tidak. Bahkan tidak akan memulangkan FTF ke Indonesia," tegas sang Menko Polhukam.
Pemerintah mengaku akan menghimpun data yang lebih valid tentang jumlah dan identitas warga Indonesia yang terlibat teror atau bergabung pada ISIS. Anak-anak yang dideportasi dari Suriah dan berusia di bawah 10 tahun, menurut Mahfud saat itu, bisa dipertimbangkan untuk diterima masuk Indonesia.
Jejak identitas warga Indonesia baru-baru ini ditemukan di insiden ledakan bom Jolo, Filipina, (24/8/2020). Salah satu bom yang meledak di basis kelompok Abu Sayyaf yang berafiliasi dengan ISIS itu dikabarkan dilakukan oleh seorang perempuan asal Indonesia.
Saat ini, menyebarnya simpatisan ISIS keluar dari Suriah dan Irak, termasuk ke negara asal, masih menjadi dilema khususnya dalam memilih aspek kemanusiaan atau pertahanan negara. Namun, Nasir Abas, mantan pemimpin kelompok Jemaah Islamiah (JI) yang terhubung dengan al-Qaeda mengaku sudah berpendirian: ia tak setuju jika Indonesia merepatriasi mantan anggota ISIS.
"Mantan anggota ISIS membawa virus ideologi yang sangat berbahaya jika dibarkan masuk ke Indonesia," kata Abas.
"Kepulangan mantan teroris bisa menjadi pemicu kelompok lain untuk mengadakan aktivitas teror seperti yang dijalankan di Suriah dan Irak."