Terbaru, adalah Ketua Umum Partai Golkar yang juga menjabat Ketua DPR RI, Setya Novanto, membuat geger karena dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Selain Novanto, terdapat enam wakil rakyat dari Partai Golkar yang terjaring KPK. Berikut penelusuran era.id:
Markus Nari
Markus Nari adalah anggota Fraksi Golkar DPR RI yang terjerat kasus korupsi e-KTP. Markus diduga memuluskan pembahasan dan penambahan anggaran e-KTP senilai Rp1,4 triliun.
Selain itu, anggota DPR periode 2009-2014 tersebut juga diduga meminta uang kepada pejabat Kemendagri, Irman, yang kini telah menjadi terdakwa dalam kasus e-KTP. Dari Irman, Markus diduga menerima uang sebanyak Rp4 miliar.
Sebelumnya, Markus Nari juga sudah ditetapkan tersangka perintangan proses hukum kasus e-KTP. Diduga, Markus melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain (korporasi) dalam pengadaan e-KTP pada 2011-2013 .
Iwan Rusmali
Ketua DPRD Banjarmasin, Iwan Rusmali diduga menerima suap sebesar Rp150 juta dari PDAM Bandarmasih, Kota Banjarmasin. Suap tersebut diberikan terkait persetujuan penetapan perda penanaman modal PDAM Bandarmasih senilai Rp50,5 miliar.
Atas kasus tersebut, Iwan resmi diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua DPRD Banjarmasin, awal Oktober lalu. Namun, Partai Golkar mengatakan Iwan hanya diberhentikan sebagai Ketua DPRD, bukan sebagai anggota.
Iwan terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK bersama Wakil Ketua DPRD Banjarmasin, Andi Effendi; Direktur Utama PDAM Banjarmasin, Muslih; dan Manajer Keuangan PDAM, Transis. Saat ditangkap, KPK mengamankan barang bukti uang tunai senilai Rp48 juta.
Ridwan Mukti
Ketua DPD Golkar Provinsi Bengkulu Ridwan Mukti terjaring OTT KPK bersama istrinya. Ridwan dan istrinya menjadi tersangka kasus suap proyek pembangunan jalan di Provinsi Bengkulu.
Selain bersama istrinya, Lily Martiani Maddari, Ridwan juga ditangkap bersama pengusaha Rico Dian Sari. Pada OTT tersebut diamankan uang sejumlah Rp1 miliar dari Rp4,7 miliar yang dijanjikan kontraktor untuk proyek pembangunan jalan di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Saat ini, Ridwan dan istrinya mendekam di Rutan Polda Bengkulu, sementara Rico Dian Sari ditahan di Rutan Malabero, Bengkulu.
Rita Widyasari
Rita Widyasari merupakan Ketua DPD I Golkar Kalimantan Timur. Bupati Kutai Kartanegara non aktif ini menjadi tersangka kasus dugaan gratifikasi izin tambang.
Rita bersama Komisaris PT Media Bangun Bersama diduga menerima gratifikasi terkait jabatan Rita sebagai penyelenggara negara sebesar 775 ribu dolar AS atau Rp6,97 miliar.
Dalam persidangan, Rita menepis dugaan suap dan gratifikasi yang disangkakan padanya. Rita ditetapkan tersangka bersama dua orang lainnya, yaitu Komisaris PT Media Bangun Bersama, Khairudin, dan Direktur Utama PT Sawit Golden Prima, Hari Susanto Gun.
Diketahui, ayah Rita yang sebelumnya menjabat Bupati Kutai Kartanegara, (alm) Syaukani Hasan Rais, juga merupakan tersangka korupsi pelepasan lahan Bandara Loa Kulu, Kukar, senilai Rp113 miliar.
OK Arya Zulkarnaen
Ketua DPD Golkar Batubara, OK Arya Zulkarnaen diduga menerima imbalan dari sejumlah proyek infrastruktur di Kabupaten Batubara senilai Rp4,4 miliar. OK Arya menjabat sebagai Bupati Batubara selama dua periode, yakni 2009-2014, dan 2014-2019.
Selain OK Arya, KPK menangkap empat orang lainnya dalam OTT yakni Kadis PUPR Batubara, Helman Herdady; pemilik dealer mobil di Kabupaten Batubara, Sujendi Tarsono; dan dua orang kontraktor, Maringan Situmorang dan Syaiful Azhar.
Dalam OTT, KPK mengamankan uang senilai Rp346 juta dari total imbalan proyek pembangunan infrastruktur sebesar Rp4,4 miliar.
Aditya Anugrah Moha
Anggota DPR RI dapil Sulawesi Utara, Aditya Moha, diduga menyuap hakim untuk mengamankan putusan banding vonis Marlina Moha Siahaan. Kader Golkar berusia 35 tahun itu diduga memberi uang pada Ketua Pengadilan Tinggi Manado, Sudiwardono, untuk memengaruhi putusan kasus yang menjerat ibunya tersebut.
Marlina, ibu Aditya terjerat kasus korupsi dan dijatuhi vonis lima tahun penjara. Kemudian Aditya berusaha memengaruhi putusan banding dengan memberikan uang senilai 64 ribu dolar Singapura kepada hakim Pengadilan Tinggi Manado.
Diduga Aditya menyerahkan uang dalam dua tahap. KPK menangkap Aditya saat menyerahkan uang tahap kedua, 6 Oktober 2017.