Ketika Publik Myanmar Tak Bergeming di Depan Moncong Senjata

| 12 Mar 2021 16:22
Ketika Publik Myanmar Tak Bergeming di Depan Moncong Senjata
Dokumen: Personil militer Myanmar mengambil gambar di tengah demonstrasi. (Foto: Human Rights Watch)

ERA.id - Aparat militer Myanmar akhirnya harus mengerahkan persenjataan dan tindakan yang represif gara-gara gagal mengalkulasi tanggapan warga Myanmar terhadap aksi kudeta, demikian analisis sejumlah pengamat.

Peristiwa demonstrasi di kota-kota seperti Yangon hingga Mandalay, Myanmar, sejak kudeta militer 1 Februari lalu begitu persisten. Tak jarang pengunjuk rasa menggunakan cara-cara inventif untuk menunjukkan betapa 'gemasnya' mereka terhadap Tatmadaw, sebutan untuk junta militer.

Misalnya, di Yangon, demonstran menempel foto Jenderal Min Aung Hlaing, yang sudah dicoreng dengan plester merah, di atas jalan yang dilalui para tentara. Akibatnya, perjalanan aparat tersendat karena ada larangan di kalangan militer untuk tidak menginjak wajah panglima militer mereka.

Di sejumlah kota, jemuran kain perempuan (longyi dan htamein) sengaja dibentangkan di tengah jalan untuk mengganggu aparat, yang terlanjur meyakini takhayul tuah kesialan jika lelaki berjalan di bawah jemuran pakaian wanita.

Ditodong Senjata, Tetap Mogok Kerja

Situasi Myanmar terkini menunjukkan kemarahan telah menyebar dan menjadi tantangan terbesar yang dialami Tatmadaw selama 80 tahun sejarah kiprah mereka di pemerintahan negara itu. Demonstran memenuhi jalanan, sementara banyak sekali karyawan yang melakukan mogok kerja, mengganggu sektor perdagangan bank, dan transportasi.

Richard Horsey, pengamat politik independen, menyebut situasi saat ini di Myanmar merupakan "miskalkulasi strategi" yang dilakukan militer yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing. Berkata di The Guardian, Horsey menyebut pihak militer telah meremehkan level oposisi masyarakat.

"Namun, saya merasa mereka masih yakin bakal memenangkan situasi ini," kata dia.

Tentara Myanmar
Tentara menggunakan teknik 'fear and chaos' untuk meredam perlawanan atas kudeta militer pada 1 Februari. (Foto: CYPH)

Karena unjuk rasa telah menyebar dengan sangat luas dan persisten, militer Myanmar pun menggunakan metode teror dan kekacauan. Pengunjuk rasa ditahan, dipukul, bahkan ditembak mati. Ditulis The Guardian, pada petang hari, truk-truk militer menyambangi rumah warga, melepaskan tembakan, hingga memasang granat kejut.

Setiap malam ada rumah yang digeledah, sementara para demonstran ditangkapi satu persatu. Sebuah organisasi memperkirakan sejauh ini lebih dari 1.800 warga Myanmar telah ditahan oleh aparat.

Min Aung Hlaing, jenderal militer yang bakal segera pensiun dan sempat menyatakan ingin menjadi presiden Myanmar, kemungkinan tidak mengira aksi unjuk rasa bakal sebesar saat ini. Ia juga bisa jadi berharap di pemilu November lalu bisa menarik simpati dari orang-orang yang tidak menyukai kepemimpinan Aung San Suu Kyi, pemimpin Partai National League for Democracy (NLD). Namun, kedua asumsi itu terbukti keliru.

"Menurut saya, pihak junta mungkin sudah mengalkulasi akan adanya demonstrasi, namun, mereka tak menyangka unjuk rasa bakal selama dan sekreatif ini," kata Moe Thuzar, dari program penelitian tentang Myanmar di the ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura.

Mematikan Api dengan Api

Pihak militer, kata Thuzar, juga tidak menyangka bahwa aksi pembangkangan sipil bisa memberikan dampak luar biasa hingga menghentikan beberapa sektor pemerintahan. Dalam menghadapi ini militer Myanmar lantas memainkan 'kartu kekerasan' untuk mengendalikan situasi.

Namun, penggunaan kekerasan malahan memicu makin tajamnya oposisi dari warga, seperti disebut Horsey. "Mereka bisa saja memaksakan keinginan lewat jalan kekerasan, tapi lalu apa yang terjadi?"

Lambang tiga jari
Lambang tiga jari digunakan di sejumlah aksi protes - dari Thailand hingga Myanmar - sebagai wujud pembangkangan terhadap rezim otoriter. (Foto: ANTARA)

Pada akhirnya junta militer bakal memimpin sebuah negara yang dijejali banyak krisis yang akut, kata Horsey. Sementara itu dukungan dari pihak domestik dan internasional sudah terkikis.

Thuzar, peneliti di ISEAS, mengatakan saat ini kira-kira 56 persen karyawan di Kementerian Sumber Daya Alam Myanmar telah bergabung ke aksi mogok kerja.

"Jika setengah dari total karyawan di pos bea cukai, atau orang-orang yang ditugasi memproses barang-barang yang masuk, akhirnya ikut mogok kerja, dampaknya bisa sampai melambatkan rantai pasok," kata dia.

Di komunitas internasional, beberapa pemerintahan Barat telah menyasar bisnis pihak militer Myanmar, lewat sejumlah sanksi finansial dan bisnis, guna memperkecil ruang gerak.

"Situasi terkini pun menguji kesatuan di dalam tubuh militer," kata Horsey.

Hingga kini belum diketahui apakah para jenderal bakal berbalik arah menentang Jenderal Min Aung Hlaing, namun, hal tersebut sulit diterka karena sifat sekresi di tubuh militer yang begitu kuat. David Mathieson, pengamat independen Myanmar, alih-alih mengatakan bahwa satu hal yang jelas di tubuh militer adalah "mereka bisa meningkatkan level kekerasan" untuk meredam protes.

Namun, pertanyaannya, seperti disampaikan Mathieson: "Mereka berani sejauh apa?"

Rekomendasi