Teknologi 'Big Data' Perparah Paranoia China Terhadap Muslim Xinjiang

| 09 Dec 2020 17:45
Teknologi 'Big Data' Perparah Paranoia China Terhadap Muslim Xinjiang
Toko daging yang dikelola kaum Uighur di China. (Foto: Richard Weil/Flickr)

ERA.id - Program 'big data' China di Kota Xinjiang memisahkan umat Muslim dan menjebloskan mereka ke pusat detensi hanya karena memakai kerudung, membaca Al-Quran atau melaksanakan ibadah Haji, demikian disampaikan laporan terbaru dari organisasi non-profit Human Rights Watch (HRW).

Dalam laporan yang dirilis Rabu (9/12/2020), HRW menyatakan telah menganalisa sebuah daftar berisi 2.000 nama anggota rumah tahanan di prefektur Aksu di Xinjiang dan menemukan bahwa program - yang dinamakan sebagai Integrated Joint Operations Platform (IJOP) - juga menangkapi orang berdasarkan pertemanan, komunikasi, sejarah perjalanan, atau kekerabatan dengan seseorang yang dianggap subversif oleh pemerintah.

"Daftar Aksu itu memberi pemahaman lebih lanjut bahwa represi brutal China terhadap kelompok Muslim Turk di Xinjiang diperparah lewat penggunaan teknologi," kata Maya Wang, peneliti senior HRW di China.

"Pemerintah China berutang jawab kepada keluarga-keluarga orang yang masuk dalam daftar tersebut: Kenapa mereka ditahan, dan di mana mereka sekarang?"

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan lebih dari sejuta Muslim Turk - kebanyakan dari mereka beretnis Uighur - telah ditahan di kamp-kamp di Xinjiang, demikian dilaporkan koran Al Jazeera. Para aktivis mengatakan bahwa tujuan penahanan itu adalah untuk "menghapus identitas etnis dan keagamaan" dari kaum Muslim Turk, sekaligus memastikan kesetiaan mereka terhadap pemerintah China.

Beijing telah menepis tudingan tersebut, seperti dilaporkan Al Jazeera. Mereka mengatakan bahwa kamp penahanan itu adalah pusat pelatihan kejuruan guna melawan "ekstremisme relijius" di Provinsi Xinjiang.

HRW mengatakan bahwa Daftar Aksu - yang pencatatannya dimulai sejak 2018 - menunjukkan bagaimana big data dan teknologi membantu para pejabat memilih target yang "dipaksa mengubah pola pikir."

Awal tahun ini sejumlah aktivis menunjukkan bukti bagaimana pejabat di Karakax, Xinjiang, menggunakan program IJOP untuk menentukan apakah seseorang harus tetap berada di pos-pos penahanan.

Pejabat Karakax menganggap laporan tersebut sebagai "dibuat-buat."

Rekomendasi