Siasat Ugal-Ugalan DPR dan Jokowi "Anulir" Putusan MK di Pilkada 2024

| 21 Aug 2024 20:05
Siasat Ugal-Ugalan DPR dan Jokowi
Ilustrasi. (Era.id/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Baru sehari sejak Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mendeklarasikan pasangan Ridwan Kamil-Suswono maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat geger publik dengan mengubah ambang batas (treshold) pencalonan kepala daerah. Perubahan itu membuat pilkada semakin memanas karena partai politik (parpol) tak harus punya kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mencalonkan kepala daerah.

Sebelumnya, dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang (UU) Pilkada, parpol atau gabungan parpol bisa mendaftarkan calon kepala daerah jika punya minimal 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara hasil pemilu di daerah setempat.

Berdasarkan aturan tersebut, tak ada parpol yang bisa mendaftarkan calon di Pilkada Jakarta 2024 tanpa berkoalisi dengan parpol lain. Maka terbentuklah koalisi besar KIM Plus—perluasan dari KIM yang sebelumnya mengusung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

KIM tadinya hanya berisi sembilan parpol, yaitu Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, PBB, Gelora, Garuda, dan Prima. Kini, KIM Plus mengajak PKS, PKB, PPP, Perindo, dan NasDem bergabung. Dalam Pilkada Jakarta 2024, otomatis koalisi itu mengasingkan PDIP sendirian dan mencegahnya mendaftarkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.

Namun, situasi berubah drastis pascaputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 (Putusan MK 60). MK mengubah isi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada berdasarkan komposisi jumlah daftar pemilih tetap (DPT). 

Lewat putusan tersebut, MK menyatakan parpol atau gabungan parpol peserta pemilu bisa mencalonkan kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD, tetapi cukup dengan hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah masing-masing. Berikut ini ambang batas pencalonan kepala daerah terbaru berdasarkan Putusan MK 60:

Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:

  • Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, parpol atau gabungan parpol peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen di provinsi tersebut;
  • Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, parpol atau gabungan parpol peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di provinsi tersebut;
  • Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, parpol atau gabungan parpol peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di provinsi tersebut;
  • Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, parpol atau gabungan parpol peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5 persen di provinsi tersebut.

Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota:

  • Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu jiwa, parpol atau gabungan parpol peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen di kabupaten/kota tersebut;
  • Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu sampai 500 ribu jiwa, parpol atau gabungan parpol peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di kabupaten/kota tersebut;
  • Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500 ribu sampai 1 juta jiwa, parpol atau gabungan parpol peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di kabupaten/kota tersebut;
  • Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1 juta jiwa, parpol atau gabungan parpol peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5 persen di kabupaten/kota tersebut.

Putusan MK 60 membuat banyak parpol berpeluang mengusung calon kepala daerah dengan modal suara lebih rendah, dan tokoh-tokoh baru bisa bermunculan dalam kontestasi pilkada, termasuk di Jakarta.

Merujuk putusan tersebut, parpol hanya perlu modal suara 7,5 persen untuk mencalonkan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Sebab, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, DPT Pemilu 2024 di provinsi itu ada sebanyak 8.252.897 orang. Artinya, PDIP bisa mendaftarkan calon sendiri karena kemarin memperoleh 850.174 suara (14,01 persen).

Bukan hanya PDIP, sebagian parpol yang tergabung dalam KIM Plus juga bisa mencalonkan sendiri, yaitu PKS (16,68 persen); Gerindra (12 persen); NasDem (8,99 persen); Golkar (8,53 persen); PKB (7,76 persen); PSI (7,68 persen); dan PAN (7,51 persen).

Sementara itu, Anies Rasyid Baswedan yang sebelumnya menemui jalan buntu untuk pencalonannya di Pilkada Jakarta 2024, kini berpeluang mendapat tiket kembali. Apalagi pendaftaran pasangan calon baru akan berlangsung pada 27-29 Agustus nanti.

Namun, kurang lebih seminggu menjelang pendaftaran, berbagai siasat dilancarkan untuk menganulir Putusan MK 60. Terbaru lewat rapat panitia kerja (panja) DPR RI yang berlangsung hari ini, Rabu (21/8/2024). 

Senjata makan tuan uji materiil UU Pilkada

Putusan MK 60 sejatinya adalah "senjata makan tuan". Sebab putusan tersebut berasal dari permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora. Adapun Partai Gelora tergabung dalam KIM yang berusaha menjegal langkah PDIP di Pilkada Jakarta 2024.

Sebelumnya, pada bulan Juni kemarin, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta menjadi salah satu pemohon bersama Presiden Partai Buruh Said Iqbal untuk menguji ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menjelaskan permohonan uji materiil UU Pilkada tersebut bertujuan mengakomodasi suara rakyat sehingga tak ada suara yang sia-sia.

"Selama ini yang boleh mengajukan calon ini hanya partai yang punya kursi (DPRD), sekarang yang tidak punya kursi pun bisa mengajukan calon, sejauh persentasenya dicukupkan," ujar Fahri dalam tayangan di akun Youtube Roemah Pemoeda, dikutip Rabu (21/8/2024).

Dalam acara deklarasi Ridwan Kamil-Suswono Senin (19/8/2024) kemarin, Fahri tampak percaya diri mengatakan Jakarta tidak perlu pilkada. Ia mengajak masyarakat memilih Ridwan Kamil-Suswono secara aklamasi.

“Saya ingin menyatakan pandangan dari Gelora bahwa sebaiknya ini adalah rekonsiliasi berikutnya, yang artinya Jakarta tidak memerlukan pilkada,” ucapnya. “Harusnya kita bisa aklamasi untuk memilih Pak Ridwan Kamil dan Pak Suswono dalam pilkada yang akan datang, karena ini kelanjutan dari keinginan kita untuk bersatu.”

Ridwan Kamil-Suswono memang tak punya lawan kuat di atas kertas. Hanya ada pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana yang diumumkan KPU DKI Jakarta bakal berlaga dalam Pilkada Jakarta 2024 lewat jalur independen.

Namun, situasi berubah setelah Putusan MK 60. Nama besar seperti Anies Baswedan punya kesempatan maju lagi usai ditinggalkan partai-partai pendukungnya yang merapat ke KIM Plus. 

Tak lama usai Putusan MK 60, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan partainya intens berkomunikasi dengan Anies. Belakangan, komunikasi dengan eks Gubernur Jakarta itu dilakukan lewat Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah.

Hasto pun mengaku intensitas komunikasi dengan Anies bakal bertambah setelah MK mengabulkan permohonan untuk sebagian gugatan perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024.

"Pak Basarah sudah ketemu melakukan komunikasi politik," kata Hasto kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (20/8/2024).

Meski begitu, PDIP mensyaratkan Anies harus menjadi kader kalau mau dicalonkan. Hal itu disampaikan Ketua DPP PDIP Komarudin Watubun merespons Putusan MK 60.

"Bisa saja (mencalonkan Anies), kenapa tidak. Sepanjang komitmen, PDI Perjuangan ini satu saja syaratnya. NKRI harga mati. Pancasila. UUD 45. Itulah komitmen PDI Perjuangan," kata Komarudin di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Selasa (20/8/2024).

Dia lantas memberi sinyal mengkaderkan Anies apabila menginginkan PDIP mengusungnya di Pilgub Jakarta 2024. Dia kemudian menyindir bahwa ada kader partainya yang berkhianat. Sehingga ada kekhawatiran jika tak dikaderkan, bisa saja berkelakuan lebih parah.

"Ya itu nanti kita melihat. Yang kita harapkan memang harus menjadi kader partai. Karena kita berpengalaman. Yang kita kaderkan saja bisa berkhianat, apalagi yang tidak dikaderkan, kan gitu," kata Komarudin.

"Jadi jangan menjadi keledai. Keledai saja tidak mau jatuh ke lubang yang sama apalagi manusia," ucapnya.

Sementara itu, pengamat politik Ray Rangkuti menilai Putusan MK 60 ibarat setetes air di padang gersang, sebab sangat berguna untuk memecah kebuntuan penyelenggaraan pilkada yang makin memburuk.

“Putusan ini, sangat berguna untuk memecah kebuntuan penyelenggaran pilkada yang makin jauh dari semangat demokrasi. Makin jauh dari aspirasi dan partisipasi masyarakat. Makin elitis, makin terpusat dan makin pragmatis,” ujar Ray kepada Era.id, Selasa (20/8/2024).

Menurutnya, kemerosotan kualitas pilkada salah satunya ditandai dengan "praktek borong partai" untuk pasangan calon (paslon) tertentu. Hal ini menimbulkan fenomena paslon melawan kotak kosong atau paslon independen.

"Akibatnya, calon-calon yang sangat populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi tidak dapat dicalonkan. Yang muncul adalah calon yang apa adanya. Dalam Pilkada 2024 ini, praktek borong partai terlihat sebagai rekayasa untuk kemenangan. Bukan datang secara alami," ujarnya.

Direktur Lingkar Madani Indonesia itu menambahkan, Putusan MK 60 dapat mengembalikan ruh pilkada sebagai pesta kedaulatan rakyat, bukan sekadar pesta parpol dan penguasa ekonomi.

"Elite parpol dan orang kaya harus kembali berdialog dengan pemilih. Jika tidak, pemilih dapat menjatuhkan pilihan pada calon yang lebih merakyat," ucapnya.

"Seturut dengan putusan MK ini, kita berharap, gairah pilkada sebagai pesta kedaulatan rakyat kembali. Parpol-parpol dapat menyusun ulang strategi. Peta kekuatan politik di pilkada akan berubah. Maka, rakyat kembali menemukan haknya yang mulai lepas. Sebagai pemilik sah kedaulatan politik Indonesia," lanjutnya.

Siasat culas rapat panja DPR RI yang tabrak konstitusi

Sehari setelah Putusan MK 60 keluar, DPR RI menggelar Rapat Panitia Kerja (Panja) pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada, Rabu (21/8/2024). Rapat yang berlangsung dengan cepat itu mendadak membatalkan putusan MK sebelumnya. 

DPR RI sepakat perubahan ambang batas pencalonan kepala daerah dari parpol hanya berlaku untuk parpol non parlemen atau yang tak punya kursi di DPRD. Ketentuan itu tercantum dalam daftar invetarisasi masalah (DIM) Pasal 40 UU Pilkada

Tim Ahli Baleg DPR Widodo membacakan isi DIM tersebut dan menyampaikan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah dari parpol yang memiliki kursi di DPRD tetap mengacu pada UU Pilkada, yaitu 20 persen dari jumlah kursi atau 25 persen dari akumulasi suara sah.

"Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi, partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan," kata Widodo.

Sementara itu, syarat pencalonan kepala daerah sesuai Putusan MK 60 hanya berlaku untuk parpol non parlemen.

"Partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD Provinsi, dapat mendaftarkan calon gubernur dan calon wakil gubernur dengan ketentuan," kata Widodo.

Setelah membacakan DIM tersebut, pimpinan rapat panja yang juga Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi alias Awiek langsung mengetuk palu tanpa perubahan pasal itu disetujui forum rapat.

Putusan rapat panja ini segera membakar amarah warga. Ramai-ramai netizen mengunggah foto bergambar burung garuda berlatar biru dengan tulisan PERINGATAN DARURAT. Tagar #KawalPutusanMK pun menjadi trending topic dengan ratusan ribu unggahan.

Partai Buruh sebagai pemohon uji materiil UU Pilkada langsung mengumumkan akan melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Kamis (22/8/2024) besok mulai pukul 09.00 WIB. Lalu dilanjutkan dengan aksi di depan Kantor KPU, Jakarta Pusat, pada Jumat (23/8/2024).

Melalui akun X resmi @EXCOPARTAIBURUH, mereka menyebutkan dua tuntutan aksi. Pertama, mendesak DPR RI untuk tidak melawan dan mengubah Putusan MK 60. Kedua, mendesak KPU mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) sesuai Putusan MK 60 paling lambat tanggal 23 Agustus 2024.

Per hari Rabu (21/8/2024) pukul 15.15 WIB, ajakan aksi turun ke jalan itu sudah menjangkau lebih dari 1 juta pengguna X. Angkanya terus bertambah setiap menit. 

Sementara itu, Presiden Jokowi ikut merespons soal revisi RUU Pilkada yang menganulir putusan MK. Ia menghormati kewenangan dan keputusan MK maupun.

"Kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara. Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki," kata Jokowi dalam tayangan Youtube Sekretariat Presiden, Jakarta, Rabu (21/8/2024).

Adapun, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih enggan berkomentar soal revisi UU Pilkada yang "menganulir" putusan MK. "MK tidak boleh komen terhadap RUU yang sedang dibahas di DPR," katanya.

Di sisi lain, Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri akan mengumumkan 169 bakal calon kepala daerah yang diusung di Pilkada Serentak 2024.

"Besok, Kamis (22/8/2024) pukul 13.00 WIB, Ibu Megawati akan kembali mengumumkan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah untuk gelombang kedua,” kata Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (21/8/2024).

"Total yang akan diumumkan 169 bakal paslon. Detail nama bakal pasangan calon dan wilayahnya akan disampaikan besok," ucap Hasto.

Sekjen PDIP ini tidak menjelaskan apakah bakal calon untuk pilkada DKI Jakarta termasuk yang akan diumumkan. Mengingat keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi No.60 yang memungkinkan PDIP untuk mengusung calon.

"Pengumuman bakal paslon yang diusung PDIP ini menggunakan landasan keputusan Mahkamah Konstitusi No.60 yang kemarin dibacakan," lanjut Hasto.

Pemilik gelar doktor Ilmu Pertahanan ini menyebutkan sikap PDIP didasarkan pada komitmen utk membangun demokrasi yang menempatkan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat.

"Rakyat menjadi hakim tertinggi di dalam menentukan pemimpinnya secara merdeka, berdaulat, langsung, dan tanpa tekanan serta berjalan melalui pemilu yang demokratis dengan penyelenggara pemilu yang profesional, dan netral," ujar Hasto.

Oleh sebab itu, PDIP menilai tidak ditemukan alasan yang kuat untuk tidak segera memasukan poin-poin putusan MK tersebut ke dalam PKPU. Termasuk keputusan nomor 70 dimana MK mengatur persyaratan usia minimum harus dipenuhi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ketika mendaftarkan diri sebagai calon.

Pria asal Yogyakarta itu mengatakan seperti gelombang pertama maka agenda pengumuman calon kepala daerah gelombang kedua ini pun dilakukan secara serentak secara hybrid.

"Yang akan hadir di kantor DPP PDIP adalah perwakilan dari bakal calon dari sejumlah provinsi/kabupaten/kota.

Terkait hal ini, Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Brawijaya, Prof. Ali Safa’at menegaskan bahwa DPR RI telah melanggar konstitusi dan secara otomatis putusan mereka batal karena bertentangan dengan putusan MK yang tetap dan mengikat.

Ia menjelaskan awalnya permohonan yang diajukan ke MK adalah untuk menguji Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada. Pasal tersebut mengatur bahwa yang bisa mencalonkan kepala daerah hanya parpol yang punya kursi DPRD. 

"Jadi kalau yang dimohonkan oleh pemohon itu memang sebetulnya adalah agar ketentuan yang menyatakan 25 persen perolehan itu juga berlaku bagi parpol yang tidak punya kursi di DPRD," ujar Ali kepada Era.id, Rabu (21/8/2024).

"Tetapi kan dalam putusan Mahkamah itu, selain menguji Pasal 40 ayat (3), juga lalu menguji berdasarkan fakta adanya kemungkinan calon perseorangan. Nah calon perseorangan itu, untuk mengajukan pencalonan kan dinilai berdasarkan pada jumlah dukungan. Jumlah dukungan berdasarkan kepada jumlah penduduk yang terdaftar dalam DPT," lanjutnya.

Ali menjelaskan menurut MK, seharusnya syarat pencalonan dari jalur parpol maupun independen adalah sama. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945.

"Kalau misalnya diatur secara berbeda kan berarti pencalonan yang diajukan parpol jauh lebih berat, dan itu menurut Mahkamah adalah pelanggaran yang tidak bisa ditoleransi," ucap Ali.

“Sehingga secara jelas sebetulnya amar putusannya adalah persyaratan itu harus sama, baik untuk parpol yang punya kursi DPRD maupun tidak punya. Dan persentasenya sudah ditentukan,” lanjutnya.

Oleh karena itu, kalau DPR mempertahankan peraturan lama dan hanya mengabulkan sebagian, Ali menilai itu sama dengan melawan putusan MK dan tidak bisa dibenarkan.

"Satu-satunya jalan untuk mengubah putusan MK ya dengan menggugat ke MK. Jalan yang harus dilakukan begitu. Dan dalam waktu dekat kan tidak mungkin," tandasnya.

Rekomendasi