ERA.id - Miskomunikasi pegawai kereta api di Stasiun Sudimara pada Senin, 19 Oktober 1987, mengakibatkan dua kereta api saling tabrak di Pondok Betung, Bintaro. Jumlah korban tewas dan kerugian yang dialami PJKA menjadikan 'Tragedi Bintaro' ini kejadian terburuk dunia perkertaapian Indonesia.
Tak ada pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), atau mungkin siapapun, yang mengira akan ada kejadian tragis di lintasa KA Tanah Abang-Rangkasbitung. Justru semuanya berjalan seperti biasa.
Kereta pertama dari Rangkasbitung menuju Palmerah berangkat pukul 06.11. Sementara, kereta pertama dari Tanah Abang menuju Rangkasbitung berangkat pukul 05.00.
Namun, maut memang tak bisa dihindarkan.
Hitung Mundur Tragedi Bintaro
Pada hari Senin itu, kelalaian pertama adalah saat Kepala Stasiun Serpong memberangkatkan KA 225, yang melayani jurusan Rangkasbitung-Tanah Abang, ke Stasiun Sudimara, tanpa terlebih dulu mengecek kondisi tiga jalur di stasiun yang dituju.
Saat itu Jalur 2 Stasiun Sudimara telah diisi KA Barang 1035, sementara Jalur 1 kondisinya buruk dan hanya dipakai untuk langsiran unit tunggal. Alhasil, sesampainya di Sudimara, KA 225 yang menarik tujuh gerbong mengisi Jalur 3 yang masih kosong, dan dengan begitu seluruh jalur di stasiun itu praktis penuh terisi.
Berdasarkan gapeka yang berlaku saat itu, KA 225 dijadwalkan tiba di Stasiun Sudimara pukul 06.40 untuk bersilang dengan KA 220 pada pukul 06.49. Namun, karena seluruh jalur tengah penuh, Stasiun Sudimara sudah tidak dapat menerima persilangan antarkereta. Solusinya, kereta KA 225 harus meninggalkan Sudimara untuk kemudian berhenti di stasiun berikutnya, yaitu Kebayoran.
Di saat yang bersamaan, KA Patas Merak No. 220 sudah berada di Stasiun Kebayoran, hendak menuju ke Sudimara.
Di momen krusial itu sebenarnya juga terjadi pergantian Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) dari shift malam ke shift pagi. Kelalaian berikutnya terjadi di sini, karena pekerja shift malam yang mengetahui 'tumpukan' kereta di Sudimara tidak segera membereskan protokol yang harus ia lakukan.
Dampak fatal pertama adalah petugas Stasiun Kebayoran memberangkatkan KA 220 ke Sudimara yang hanya terhubung dalam 1 jalur rel.
Tahu bahwa KA 220 sedang menuju ke arah stasiunnya yang 'penuh', petugas Stasiun Sudimara lantas memutuskan melangsir KA 225 dari jalur 3 ke jalur 1. Sang petugas, bernama Djamhari, pun meminta seorang juru langsir untuk memberi sinyal pada masinis KA 225 mengenai proses langsiran yang harus dilakukan.
Dalam laporan PJKA tahun 1987/1988 tertulis bahwa ketika itu KA 225 telah dipenuhi penumpang, bahkan bisa dibilang gerbong melebihi kapasitas. Saat itu, banyak penumpang bergelantungan di pintu, jendela, atap gerbong, bahkan sisi kiri dan kanan lokomotif. Ini adalah kelalaian ketiga dalam peristiwa tragis itu.
Dampak fatalnya terjadi ketika ada miskomunikasi fatal antara masinis yang salah membaca rambu-rambu juru langsir. Tertutup oleh badan para penumpang, masinis tak bisa melihat semboyan merah yang dipasang juru langsir. Sebelum sang juru mencapai gerbong paling belakang, kereta justru berangkat ke arah Kebayoran. Makin kencang, hingga juru langsir tak mampu meminta masinis menghentikan keretanya.
Tak ayal, dua kereta api, KA 225 dan KA Patas Merak 220, akan bertemu di satu titik jalur kereta yang menghubungkan Sudimara dengan Kebayoran. Dan benturan hebat memang sungguh-sungguh terjadi, tepatnya di Tikungan S km 17+252 yang ada di kawasan Pondok Betung RW 09, Kelurahan Bintaro, Jakarta Selatan.
Banyak Korban, Rugi Besar
Seperti kemudan diketahui, kedua rangkaian kereta api memang masih berada di rel. Namun, dampak tubrukannya bisa dilihat dari kerusakan fisik gerbong dan lokomotif kedua kereta. Lokomotif BB-303-16 saat itu rangsek dan 'tertelan' ke dalam gerbong KB3-65-601 sepanjang 21 meter.
Menurut catatan, 139 orang tewas, namun, hanya 113 korban saja yang berhasil diidentifikasi, sesuatu yang harus diterima mengingat kondisi luapan penumpang di kereta api. Ada pula 254 orang yang luka berat dan ringan.
Dalam laporannya PJKA juga mengatakan bahwa peristiwa itu menyebabkan jawatan kereta api rugi Rp1,9 miliar.
Selain sanksi yang diterima sejumlah karyawan PJKA yang terlibat dalam 'Tragedi Bintaro', kejadian memilukan itu menorehkan duka mendalam bagi banyak pihak. Peristiwa itu juga direkam sejumlah musisi ke dalam karya mereka. Misalnya, Iwan Fals dalam lagu "1910" dan Ebiet G. Ade dalam lagu "Masih Ada Waktu." Peristiwa ini juga diangkat menjadi film dengan judul "Tragedi Bintaro" (1988).