Satu Abad Lebanon: Bangkrut dan Hampir Ambyar

ERA.id - Seratus tahun setelah diumumkan berdiri pada 1 September 1920, Lebanon - dulunya State of Greater Lebanon - telah bangkrut dan hampir kolaps. Negara yang sempat menjadi model pluralisme di Timur Tengah kini diliputi demonstrasi akbar pascaledakan 4 Agustus lalu.

Tahun 1920, Jenderal Henri Gouraud, wakil imperialis Prancis, berdiri di teras istana Beirut, Lebanon, dikelilingi para politisi dan pemimpin agama saat mengumumkan berdirinya Lebanon. Satu abad kemudian, pemimpin Prancis Emmanuel Macron berkunjung ke Lebanon untuk merayakan momen tersebut, namun, dalam suasana yang getir.

Ibukota Beirut yang dijuluki 'Paris dari Timur Tengah' hancur oleh sejumlah malapetaka. Pada 4 Agustus lalu, ledakan dari 2.750 ton amonium nitrat menewaskan 190 warga Beirut dan melukai ribuan orang, dan tragedi ini menjadi kulminasi konflik horizontal yang terjadi di Lebanon.

Warga Lebanon yang mengalami perang sipil tahun 1975-1990 mafhum ketika nama Beirut identik penyanderaan, tragedi bom, dan kekisruhan. Belum lagi ketika Israel menginvasi Beirut pada musim panas 1982 lalu menyandera kota itu selama 3 bulan, serta ketika para milisi Kristen saling tembak satu sama lain di tahun 1989.

Itu belum selesai. Pada tahun 1990, Israel dan faksi militer Lebanon, Hezbollah, terlibat dalam perang selama satu bulan. Tiga puluh tahun terakhir di Lebanon diisi oleh rangkaian konflik sektarian dan pagebluk yang merintangi berbagai generasi Lebanon. Tak heran, warganya pun memilih meninggalkan Lebanon.

Namun, bagi mereka yang tetap tinggal meski Lebanon telah mengumumkan kebangkrutan pada Maret lalu, ledakan pada 4 Agustus memberi pukulan telak.

"Umur saya 53 tahun dan saya tak sekalipun mengalami satu tahun yang stabil di negara ini," kata penulis ternama asal Lebanon Alexandre Najjar.

Seabad Turbulensi

Terbebas dari cengkeraman Kerajaan Ottoman pasca Perang Dunia I, Lebanon mewarisi 18 sekte keagamaan yang hidup berdampingan. Pluralisme menjadi bagian dari kehidupan di Lebanon, satu hal yang dibantu oleh suatu pembagian kekuasaan yang paten: presiden Lebanon selalu dari kaum Kristiani, sementara perdana menteri dari kaum Muslim Sunni. Selain itu, Ketua DPR selalu dari kaum Muslim Syiah, dan pos-pos penting lain dibagikan ke kelompok agama lainnya.

Setelah sempat mengalami turbulensi akibat perang sipil dan kedatangan pasukan militer AS, Lebanon mengalami masa keemasannya pada dekade 1960 dan awal 1970an. Kaum jet-set datang berjudi di Casino Du Liban atau menonton konser di kota kuno Baalbek. Banyak seniman dan kelompok mahsyur pernah mampir ke Lebanon, mulai dari Berlin Philharmoni, penari balet Rudolf Nureyef, penyanyi jazz Ella Fritzgerald, hingga penyanyi Umm Kalthoum.

Namun, Lebanon terbelah semasa era konflik pada dekade 1970an. Milisi Palestina mulai menyerang Israel dari teritori Lebanon. Kemudian, pasukan Suriah ikut memasuki Lebanon, diikuti pasukan Israel sendiri.

Dalam sejarah negaranya, sudah ada 2 presiden dan 2 perdana menteri Lebanon terbunuh, di samping puluhan politisi, anggota parlemen, jurnalis, dan aktivis yang tewas.

Hingga bencana ledakan Beirut awal Agustus lalu, hanya satu kekuatan yang mampu terus berkuasa, yaitu faksi militer Hezbollah. Pada tahun 2006, kelompok ini berhasil mendorong Israel keluar dari Lebanon. Kini ia beraliansi dengan figur-figur penting Lebanon, seperti Presiden Michel Aoun, dan terus disorot karena perilaku korup dan dianggap bertanggungjawab atas inflasi yang mencapai 170 persen dari PDB Lebanon.

"Lebanon berada dalam periode terburuknya selama 100 tahun terakhir," kata anggota DPR

Marwan Hamadeh, seperti dikutip Al Jazeera. "Kami berada di fase terburuk secara ekonomi, politik, dan bahkan dalam persatuan nasional."

Pakar sejarah Johnny Mezher mengatakan bahwa untuk mengurai masalah di Lebanon, hukum tata negara harus diatur untuk memperkuat identitas nasional, alih-alih kesetiaan pada satu sekte relijius saja.

"Sosok relijius seharusnya tidak ikut campur dengan urusan politik," kata dia.

Presiden Macron menanam pohon cemara di Jaj Environment Preserve untuk merayakan 100 tahun Lebanon.

Namun, sebelum itu terjadi, banyak orang justru berharap Lebanon kembali seperti satu abad yang lalu, berada di bawah pemerintahan Prancis. 60.000 orang telah menandatangani petisi yang menyetujui hal tersebut. Sementara itu, Presiden Macron disambut dengan sorak sorai "Vive La France" (Hidup Prancis) saat ia berkunjung pascakejadian pelabuhan Beirut.

"Kami tentu berharap perayaan 100 tahun kami tidak dalam situasi luluh lantak seperti ini," kata Najjar.

"Namun, masih ada harapan," kata dia. "Kami sudah berada dalam kondisi paling ambyar, dan situasi tak mungkin lebih buruk dari ini."